REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat, Anton Tabah Digdoyo, mengapresiasi aksi penolakan LGBT yang dinilai sebagai pelanggaran HAM oleh sejumlah anggota dan fraksi di DPR RI. Ia juga setuju pelakunya dipidana karena LGBT penyakit yang sangat menular, bahkan termasuk kriminal dasar atas kemausiaan.
Namun, Anton merasa heran, mengapa mereka juga bilang kalau LGBT itu HAM, dan pelakunya tak boleh dipidana. "Atas dasar apa ia bilang begitu? Kalau LGBT itu HAM, tidak mungkin semua agama melarangnya. Dan tidak mungkin semua kitab suci mengutuknya," ujar Anton, Senin (22/1).
Apalagi, kata Anton, bangsa Indonesia layak merujuk kepada agama. Sebab, dasar NKRI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa yang mewajibkan setiap WNI tanpa kecuali harus menaati agamanya, dengan berdasarkan kitab sucinya. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E, 28F dan 29 ayat 1.
"Setiap wakil rakyat wajib memahami Pancasila dan UUD 1945. Jangan kalah dengan Presiden Rusia Putin. Negara dengan background ideologi komunis saja bisa tegas melarang LGBT. Kenapa NKRI tdak?" tegas Anton.
Kemudian, Anton juga mengaku malu apabila ada penyelenggara negara di NKRI dengan warga muslim terbesar di dunia, malah berupaya menyetujui LGBT sebagai HAM, dengan berbagai dalih dan substansi tidak berdaya terhadap tekanan berbagai kepentingan global. Jika itu terjadi, kata dia, betapa lemahnya kedaulatan RI saat ini di mata asing.
Selain itu, Anton menyatakan setuju statemen artis dunia Alexander David Brodie yang terkenal dengan nama Samanta, laki-laki darah Indonesia Skotlandia yang pernah merubah dirinya menjadi wanita dan kini sadar kembali menjadi laki-laki. Bahkan, kini menjadi mualaf dan jadi Muslim yang taat.
"Dalam buku berjudul Samanta & Me, ia dengan tegas menyatakan LGBT adalah penyakit sangat menular, bahkan menjadi kriminal dasar kemanusiaan yang harus disetop, dan jika tidak mau, negara harus menghukum atas kejahatannya itu," tutup Anton.