Rabu 31 Jan 2018 18:18 WIB

Komisi VIII DPR Didesak Ubah Judul RUU Kekerasan Seksual

Definisi tentang kekerasan juga dinilai masih bermasalah

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bilal Ramadhan
Kekerasan Seksual (ilustrasi)
Foto: STRAITS TIMES
Kekerasan Seksual (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa pihak dan anggota Komisi VIII DPR meminta judul Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) diubah. Wakil Ketua Komisi VIII, Marwan Dasopang mengaku masih menampung masukan dari berbagai pihak. Bahkan di dalam Panitia Kerja (Panja) sendiri, Marwan mengaku judul tersebut dipertanyakan.

"Ada dua hal pertanyaan tentang judul, judulnya itu kan Penghapusan Kekerasan Seksual, pertanyaan pertama, judul itu belum titik. Karena ini tidak titik, maka akibatnya banyak. Kalau dilakukan suka sama suka pasti tidak bagian dari pidana," katanya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/1).

Kedua, Marwan menambahkan, dalam naskah akademik yang menjadi tugas Komisi VIII, ada rumusan definisi tentang kekerasan yang terangkum di dalam empat poin yang dinilai juga bermasalah. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengatakan empat poin tersebut selain akan semakin membuka persoalan itu, juga tidak bisa mencegah hal yang lain.

"Umpamanya andaikan di dalam keluarga yang sah dalam ikatan yang sah terjadi kekerasan, itu akibat psikologis atau ada unsur sengaja dari pihak istri, dia enggan melayani dan dipaksa karena si suami itu merasa itu kewajiban istrinya, itu bisa dipidana enggak? menurut definisi itu bisa. Itu kan merusak tatanan," jelasnya.

Sementara itu Ketua Komisi VIII, Ali Taher mengatakan bahwa judul tersebut belum mencerminkan adanya faktor pemidanaan, maka kategori UU tersebut adalah kategori UU administratif. Politikus PAN tersebut menambahkan, kata Penghapusan adalah urusan administratif.

"Judulnya saja penghapusan, sementara kalau UU itu kan mesti harus ada tindak pidana terhadap kekerasan perempuan misalnya, nah ini kan hanya penghapusan," ucapnya.

Sebelumnya, Komisi VIII DPR RI telah menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pakar hukum pada Senin (29/1) lalu. Rabu (31/1) pagi tadi giliran organisasi masyarakat lintas agama dimintai masukan. Beberapa pihak yang diundang di antaranya Aliansi CInta Keluarga (AILA) Indonesia dan Wanita Hindu Dharma Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement