REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengaku tengah mengkaji soal penerbitan mata uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CDBC). Hanya saja masih dalam tahap kajian awal.
"Kita masih petakan, kita lihat cost dan benefitnya. Yang terjadi di beberapa negara juga kita lihat. Jadi kajiannya belum selesai," ujar Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko kepada wartawan di Jakarta, Rabu, (31/1).
Lebih lanjut, BI menegaskan, kajian mengenai CDBC tidak bisa sebentar atau membutuhkan waktu lama. "Kalau di pipeline, kita akan coba usahakan selesaikan kajian dalam dua tahun dimulai dari 2018," ujar Onny.
Dengan begitu, diharapkan kajian tersebut bisa selesai pada 2020. Ia menjelaskan, kajian yang dimaksud bukan lagi analisis benchmarking tapi implikasinya.
"Kalau pada 2017 kan kita baru mulai benchmarking, kumpulin data segala macam. Maka kajian kita mulai tahun ini, mudah-mudahan bisa selesai (2020) bisa selesai. Lebih cepat lebih bagus," tuturnya.
Dalam pengkajian CDBC, Onny menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu dipelajari. Meliputi dari sisi Undang-Undang (UU) yang ada, infrastruktur, operasional, dan lainnya.
Saat ini hampir 70 persen bank sentral di dunia telah melakukan penelitian mengenai CDBC. Hanya saja memang belum ada yang menerapkannya secara resmi.
"Kalau yang pilot sudah ada. Jadi semuanya masih dikaji dan baru sedikit yang pilot project. Jadi sudah pilot project pun belum tentu mau terbitkan," kata Onny. Ia menambahkan, BI sendiri belum akan melakukan uji coba karena kajiannya pun baru tahap awal.
Salah satu negara yang tengah melakukan uji coba yakni Ekuador. "Itu harus kita teliti supaya jelas. Kita mau ke Ekuador secara virtual, kalau boleh kita ingin dapat riset mereka (Ekuador) sebelum uji coba," jelasnya.