Ahad 04 Feb 2018 15:40 WIB

'Smoke and Mirror', Kartu Kuning UI, dan Jokowi

Presiden Jokowi merespons positif aksi kartu kuning dan terus melakukan perbaikan.

Seorang mahasiswa UI diamankan oleh Paspampres saat mengacungkan buku kuning untuk Presiden Jokowi, di sela Dies Natalis UI, Jumat (2/2)
Foto: Istimewa
Seorang mahasiswa UI diamankan oleh Paspampres saat mengacungkan buku kuning untuk Presiden Jokowi, di sela Dies Natalis UI, Jumat (2/2)

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Amri Amrullah, Debbie Sutrisno, Dessy Suciati

Belakangan ini Presiden Jokowi terus menjadi perhatian publik baik di level nasional maupun internasional. Presiden rakyat yang karier politiknya dirintis dari bawah ini baru saja mendapat liputan besar koran Nikkei, Jepang.

Perjalanan hidup Jokowi mulai dari merintis bisnis mebel hingga menjadi Presiden Indonesia dimuat dua halaman penuh salah satu koran ternama di Jepang itu. Nuansa positif begitu kental dalam ulasan ini.

Tentu, ada alasan rasional dan kritis mengapa Nikkei membuat profil Presiden Jokowi dua halaman penuh. Bagi orang media, pencapaian, fenomenalitas, dan raihan besar yang dicapai Jokowi selama berkuasa menjadi alasan pemuatan besar-besaran itu. Itulah rasionalitas media.

Beberapa hari kemudian, muncul artikel lain tentang Jokowi di portal berita Hong Kong, Asia Times atau Atimes. Penulisnya, jurnalis senior Atimes, John McBeth, dengan judul artikel "Widodo's Smoke and Mirror Hide Hard Truths".  Jika Nikkei positif menulis tentang Jokowi, berbeda dengan Atimes: nadanya kritis.

McBeth mengritik Jokowi dari sisi infrastruktur hingga persoalan penjualan saham Freeport. Intinya, McBeth yang banyak paham tentang Indonesia mengingatkan pemerintahan saat ini untuk tidak menutup-nutupi fakta yang ada di balik semua pembangunan infrastruktur yang sedang dijalankan.

Ia menyebut satu contoh proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang didanai Cina. Pencitraan indah kereta cepat dengan kenyataannya sangat lebar. Bahkan, kata McBeth, persoalan pembebasan lahan masih juga belum bisa diselesaikan dengan baik.

Kritik McBeth memang tidak sepenuhnya tepat. Ada beberapa catatan yang tidak proporsional dan kurang update terhadap perkembangan isu itu. Namun, tulisan McBeth jelas memberikan semacam sinyal kesadaran bahwa banyak hal yang harus dikerjakan Pemerintahan Jokowi. Kerja, kerja, kerja saja tidak cukup. Tapi, kerja yang tuntas, tepat, dan sistematis.

Dan belum usai kontroversi tulisan McBeth yang memicu perdebatan di dalam negeri, tiba-tiba muncul kartu kuning kepada Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia (UI) oleh Ketua BEM UI Zaadit Taqwa.

Menurut Zaadit, aksi yang dilakukannya merupakan bentuk evaluasi bagi Jokowi dan Kabinet Kerja yang dipimpinnya. "Jadi ngasih peringatan buat Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan bangsa," ujar Zaadit, Jumat (2/2).

Sebelum kedatangan Jokowi ke universitasnya, Zaadit mengatakan dia dan sejumlah mahasiswa UI lain telah menyiapkan tiga tuntutan dalam aksi di Stasiun Kereta Api UI. Pertama, BEM UI meminta Jokowi segera menyelesaikan gizi buruk di Papua.

Kedua, Jokowi harus bisa menetapkan Penjabat Gubernur agar tidak seperti Orde Baru di mana ada dwifungsi Polri, di mana anggota polisi aktif justru memegang jabatan selain di lembaganya. Terakhir, terkait mengenai aturan bahwa mahasiswa bisa bergerak dan berorganisasi serta berkreasi secara aktif, tidak dikukung oleh peraturan yang membatasi ruang gerak mahasiswa.

Aksi kartu kuning, kata Zaadit, untuk mempercepat tanggapan dari Jokowi karena ketiga hal yang dituntutnya sudah memakan banyak korban, khususnya tentang perbaikan gizi.

Kartu kuning yang dibawa pada aksi tersebut merupakan buku paduan suara. Karena pengawasannya sangat ketat dari Paspampres, maka tercetus menggunakan buku tersebut agar bisa masuk ruangan tanpa mendapat halangan dari pihak keamanan.

"Ini spontan karena sebenarnya sudah menyiapkan rencana, tapi berubah-ubah menyesuaikan kondisi di dalam ruangan," papar Zaadit.

Kritik yang harus diterima

Analis Politik LIPI Firman Noor menilai tak ada yang salah saat mahasiswa mengkritik pemerintah. Karena, tugas mahasiswa sebagai agen perubahan yang cerdas harus tetap kritis atas kondisi yang ada.

"Justru di situlah letak kehebatan mahasiswa UI, bukan saja dikenal cerdas, namun juga kritis," kata Firman, menanggapi Ketua BEM UI Zaadit Taqwa yang memberi kartu kuning pada Presiden Joko Widodo, Jumat (2/2).

Pesan mahasiswa kepada Presiden Jokowi itu sangat jelas, masih banyak hal yang harus dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi. Terutama, bagaimana terkait dengan kedudukannya sebagai sosok penentu kehidupan rakyat, bangsa, dan negara.

Apa yang dilakukan oleh mahasiswa itu, menurut Firman, tidak perlu ditanggapi dengan berlebihan oleh kubu pendukung Presiden Jokowi. Ini merupakan hal yang lumrah. Jadi, tidak ada yang perlu ditanggapi berlebihan karena yang menyampaikan juga adalah mahasiswa.

"Mahasiswa UI sadar bahwa keberadaannya adalah sebagai agen perubahan yang harus senantiasa kritis demi kepentingan bangsa dan bukan hanya pada dirinya," ungkap Firman.

Pengamat politik Indria Samego berpendapat kartu kuning dari mahasiswa UI adalah hal biasa. Hal tersebut, kata dia, menjadi hal yang biasa di alam demokrasi yang sedang dibangun di negeri ini.

Pendukung Jokowi tak perlu kemudian berlebihan karena seorang mahasiswa yang mengacungkan kartu kuning ke Presiden. Apalagi, sampai mengaitkan ke soal tuduhan bahwa presiden BEM UI Zaadit Taqwa, yang mengacungkan kartu kuning, berafiliasi dengan PKS.

"Dari 190 juta pemilih Indonesia saat Pilpres lalu, punya hak untuk mengkritik presiden yang dipilih. Karena itu bagian ekspresi demokrasi," jelas Indria.

Kritik ini seharusnya menjadi masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja yang belum baik sesuai tujuan Nawacita Presiden Jokowi di saat kampanye. Apalagi yang memberi kritik itu mahasiswa.

Jokowi ajak BEM UI ke Asmat

Presiden Jokowi sendiri santai saja menanggapi kritik kartu kuning sang mahasiswa UI itu. Jokowi menilai wajar aksi itu karena mereka masih memiliki jiwa muda dan aktif sebagai aktivis kampus.

"Saya kira ada yang mengingatkan, itu bagus sekali," ujar Jokowi usai mengunjungi Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sabtu (3/2).

Jokowi menuturkan hingga saat ini tuntutan yang diinginkan BEM UI belum diterimanya. Namun, Jokowi tahu salah satu tuntutan yang diminta adalah perbaikan gizi bagi masyarakat suku Asmat, Papua, yang mengalami gizi buruk.

Jokowi mengajak perwakilan BEM UI datang dan melihat langsung infrastruktur yang ada di sana. Sebab selama ini kesulitan pemerintah dalam menyalurkan bantuan dikarenakan kendala akses infrastruktur.

"Biar lihat bagaimana medan yang ada di sana (Asmat), kemudian problem-problem besar yang kita hadapi di daerah-daerah terutama di Papua," ujar Jokowi.

Pesan moral kepada pembantu presiden

McBeth dan Zaadit membawa pesan penting bagi Presiden Jokowi, terutama para pembantunya untuk bekerja lebih tepat dan hati-hati. Apalagi, semua rangkaian cerita di atas terjadi ketika kondisi ekonomi politik dalam negeri memang sedang bermasalah.

Inflasi memang rendah, tetapi banyak usaha gulung tikar. Kemampuan belanja individu rendah meski ada yang tetap mampu belanja banyak. Lapangan kerja baru belum banyak tercipta sementara korban PHK terus bertambah.

Secara makro, terlihat pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen sementara utang baik dalam utang dalam negeri maupun luar negeri terus membesar. Betul, utang sekarang diperuntukkan untuk kegiatan produktif meski dengan bunga tinggi dan periode jatuh tempo yang pendek.

Di sisi politik, gebrakan untuk menjadikan petinggi Polri aktif sebagai penjabat gubernur di Jabar dan Sumut jelas mengkhawatirkan terutama mahasiswa. Ini kebijakan yang diprotes BEM UI juga. Dalam kondisi normal mereka mempertanyakan politik dwi fungsi TNI/Polri dikembalikan lagi.

Pada empat tahun perjalanan pemerintahan, Indria mengakui memang ada beberapa hal yang dirasakan masyarakat belum sesuai dengan cita cita Nawacita. Namun, tentu dari semua yang kurang ada beberapa hal yang menurut dia sudah cukup baik dilakukan presiden.

Indria berharap di satu tahun yang masih tertinggal ini Presiden Jokowi bisa mengebut untuk memperbaiki kekurangan yang belum sesuai Nawacita. Ini artinya para pembantu presiden untuk lebih kreatif dan mampu mengatasi berbagai masalah tanpa harus membawa-bawa nama Presiden Jokowi yang belakangan ini kerap menjadi bemper.

Presiden Jokowi sendiri jelas tidak diam. Berbagai jurus perbaikan terus dilakukan mulai dari sektor paliong mikro hingga yang besar-besar. Belum lagi tantangan eksternal yang begitu kuat yang secara langsung mempengaruhi perekonomian nasional.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement