REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Syamsuddin Alimsyah menilai, hasil revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) sesat pikir. Terutama Pasal 122 huruf k. Dalam pasal tersebut Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan Anggota DPR RI.
"Saya kira ada sesat pikir memaknai MKD. Padahal MKD dibentuk untuk mengawasi etika anggota, atau polisinya DPR RI bukan malah mengawasi pengkritik Anggota DPR RI," keluh Syamsuddin, saat menjadi pembicara pada diskusi di sekretariat ICW, Jakarta, Rabu (14/2).
Selain itu sesat pikir juga ada pada Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR RI harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu. Kemudian setelah itu baru dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum. Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul atas izin MKD, sehingga izin diberikan langsung oleh presiden.
"Mengembalikan lagi apa yang dibatalkan oleh MK itu sama saja melawan putusan pengadilan. MKD itu ranahnya etika, tidak ada kaitannya dengan perizinan," katanya.
Apalagi anggota dari MKD itu sendiri merupakan representasi daripada fraksi yang ada di DPR RI. Bahkan anggota MKD juga anggota DPR RI yang ada di komisi-komisi. Sehingga dapat dipastikan, pasal ini bakal menghambat penegakkan hukuman. "Ini kan sama saja jeruk makan jeruk. Kita tahu selama ini MKD juga lambat memproses anggota yang tersandung kasus etika," tegas Syamsuddin.
Di samping itu, revisi MD3 ini adalah gambaran jadi diri DPR RI sendiri yang arogan. Karena, kata Syamsuddin, mereka ingin membangun lembaga yang super power. Lembaga yang dapat mempidanakan seseorang atau menyandera tanpa proses hukum, tapi ketika anggotanya terseret hukum harus ada izin terlebih dulu untuk diproses.
"Ini juga tidak fair, mereka bisa mempidanakan orang siapa saja tanpa proses hukum tapi kalau ada yang bermasalah harus izin ke MKD dululah," kecamnya.
Menurut Syamsuddin, sebenarnya revisi MD3 sendiri bukanlah lahir dari aspirasi rakyat. Namun adanya partai pemenang Pemilu yang tidak memiliki kursi pimpinan di DPR RI. Sehingga salah satu untuk mengakomodasi keinginan partai pemenang Pemilu tersebut.