REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Rancangan Undang-Undang KUHP yang tengah dibahas di DPR akan mengancam upaya KPK dalam memberantas korupsi yang ada di Indonesia. Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Tama S Langkun, menjelaskan pihaknya mencatat setidaknya ada beberapa poin kritis dari rumusan delik korupsi yang ada di RUU KUHP yang berpotensi besar melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Dari sejumlah catatan kritis tersebut empat akibat yang dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan kewenangan KPK jika RUU KUHP tetap disahkan. Pertama memangkas kewenangan penindakan dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Meski pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa jika RKUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, namun kenyataannya justru dapat sebaliknya. "Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RKUHP disahkan," kata Tama.
Artinya, KPK tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan.
Kewenangan KPK tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor. Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus korupsi nantinya akan beralih kepada Kejaksaan dan Kepolisian karena kedua institusi ini dapat menangani kasus korupsi yang diatur selain dalam UU Tipikor.
Yang tidak kalah penting, selain KPK, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri jika delik korupsi masuk dalam RUU KUHP. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
Dengan demikian jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum. Penekanan selanjutnya yang membuktikan RUU KUHP menguntungkan koruptor karena ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RUU KUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam RUU KUHP.
Lebih ironis lagi, kata Tama, koruptor yang diproses secara hukum bahkan dihukum bersalah tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada Negara karena RUU KUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti atau uang yang telah dikorupsi. Di sisi lain, RUU KUHP juga tidak mengakomodir ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang intinya menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana yang dilakukan. Jika ketentuan pasal 4 tidak dimasukkan dalam RKUHP maka di masa mendatang pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan Negara agar tidak diproses oleh penegak hukum.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, ICW yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menolak keras pengesahan RKUHP dan menolak pengaturan delik korupsi dimasukkan ke dalam RKUHP. "DPR dan Pemerintah sebaiknya mengakomodir usulan perubahan maupun penambahan delik korupsi dalam Revisi UU Tipikor dan tidak memaksakan dicantumkan meskipun terbatas kedalam RUU KUHP," ucap Tama.
Dalam draft RUU KUHP tertanggal 2 Februari 2018, ketentuan mengenai delik atau tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 687-696. Sebagian ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diadopsi langsung di RUU KUHP. Dalam naskah rancangan regulasi tersebut setidaknya ada enam pasal serupa dengan Pasal 2, 3, 5, 11 dan 12 UU Tipikor.