Jumat 16 Mar 2018 10:42 WIB

Anak Korban Kekerasan Seksual Bisa Jadi Pelaku Berikutnya

Sangat diperlukan proses pembinaan, pendampingan, dan pemulihan korban dan pelaku

Rep: RR Laeny Sulistyawati/ Red: Bilal Ramadhan
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang anak berusia 10 tahun yang juga korban sodomi dilaporkan telah melakukan tindak sodomi kepada 6 (enam) orang teman mainnya yang baru berusia 5-9 tahun. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise sangat prihatin sekaligus menyayangkan terjadinya kasus ini.

Ia meminta untuk fokus memberikan penanganan rehabilitasi pada anak korban sodomi serta meminta agar pelaku yang masih tergolong anak, perlu dibina, didampingi, dan dipulihkan. Kasus ini membuktikan secara jelas bahwa anak korban sodomi berpotensi besar menjadi pelaku kasus yang sama ke depannya.

"Untuk itu sangat perlu dilakukan proses pembinaan, pendampingan, dan pemulihan bagi korban maupun pelaku," ujarnya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (16/3).

Kasus ini tidak bisa dilakukan diversi karena syarat dapat dilakukannya diversi adalah bukan merupakan pengulangan tindak pidana dan sanksi hukumannya di atas 7 (tujuh) tahun. Sedangkan dalam hal ini sanksi hukumannya paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun berdasarkan Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 tahun 2016.

Sebelumnya pelaku, D, kurang mendapat perhatian dan pengawasan dari orang tuanya. Ia sering mengamen di Singaparna, Tasikmalaya dan kerap pulang larut malam, pelaku juga gemar menonton video porno di warung internet (warnet).

Hal inilah yang ikut memicu pelaku nekat merayu hingga berujung melakukan sodomi kepada rekan-rekan sepermainannya. Salah satu korban diketahui masih duduk di bangku PAUD dan mayoritas korban berasal dari satu kampung dan satu sekolah dengan pelaku.

"Saya menyayangkan kurangnya perhatian dan pendampingan terhadap pelaku tersebut. Seharusnya orang tua terhadap masalah ini mengawasi pergaulan anak, mengawasi penggunaan sarana informasi yang digunakan anak. Dan terhadap korban orang tua perlu memberikan dukungan psikologis, memberikan motivasi agar anak dapat mengatasi permasalahannya, serta mendampingi anak selama dalam proses pemulihan," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement