REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat masalah politik Girindra Sadino menilai partai politik akan kesulitan untuk mencapai batas persyaratan perolehan kursi DPR 20 persen atau 25 persen suara sah pemilu nasional yang diperlukan. Jumlah ini untuk mengajukan pasangan capres/cawapres pada pemilu berikutnya.
Girindra mengatakan kompleksitas Pemilu Legislatif 2019 yang pada satu sisi ditandai oleh jumlah parpol peserta pemilu lebih banyak dibandingkan Pemilu 2014. Namun pada sisi lain menunjukkan kecenderungan menguatnya intensitas para calon anggota legislatif untuk meraih kursi, diperkirakan akan menghasilkan perolehan suara pemilu nasional yang lebih tersebar.
"Kondisi tersebut akan menghambat partai politik untuk menembus batas persyaratan perolehan kursi DPR 20 persen atau 25 persen suara sah pemilu nasional untuk mencalonkan capres dan cawapres pada pemilu selanjutnya," kata Wasekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) ini, Jumat (16/3).
Menurut dia, untuk mengajukan capres dan cawapres pada Pemilu 2019 adalah hasil dari pemilu sebelumnya, yakni Pemilu 2014. "Dalam hal ini, kompetisi untuk lolos parliamentary threshold akan mendorong parpol peserta pemilu berupaya meraih suara sebanyak mungkin," katanya.
Oleh karena itu, Girindra memprediksi amat sulit untuk mencapai target sejumlah parpol yang menempati peringkat atas maupun menengah dalam Pemilu 2019 untuk melipatgandakan perolehan suara. Andaikata jumlah suara sah nasional dalam Pemilu 2019 mencapai 150 juta dari 190 jutaan pemilih, maka tidak mudah bagi parpol manapun untuk meraih 25 persen suara nasional, yakni sekitar 37,5 juta suara.
"Terlebih saat ini salah satu capres didukung parpol secara rombongan, yang akan memecah konsentrasi pemilih terlepas ideologi maupun karakteristik basisnya," katanya.
Ia menambahkan, kesulitan akan bertambah, jika suara parpol-parpol tersebut tersedot oleh parpol baru di sejumlah 'basis teritorial'. Partai Garuda, Perindo dan Partai Berkarya berpotensi menarik suara Partai Golkar, Demokrat dan Gerindra. Demikian pula halnya PBB yang dimungkinkan menggaet massa PKB atau PPP.
Sementara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga tidak mustahil berpengaruh terhadap suara PDIP. Oleh karena itu, tambah Girindra, parpol yang sudah mempunyai atau yang akan mengajukan calon presiden untuk membangun koalisi sesegera mungkin.
"Instabilitas kompetisi antarparpol (interparty competition) yang dipengaruhi oleh perubahan sikap pemilih (electoral volatility) adalah faktor strategis lain yang memperkuat argumen tentang urgensi koalisi parpol," ucapnya.
Sementara itu, parpol yang berambisi menjadi 'parpol besar' dan mengusung capres sendiri dapat saja mencapai hasil 'memalukan' dan mengubur mimpi jika tidak dapat mengatasi kendala-kendala berat tersebut. "Apalagi jika gagal menggalang mitra koalisi," ucap Girindra.