REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengapresiasi semua pihak yang menginginkan pemilihan kepala daerah bersih yang bertumpu pada adu gagasan dan program bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat. Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan pemilihan kepala daerah harus menjadi pesta demokrasi yang bermartabat, bebas dari kampanye SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), ujaran kebencian, hoax atau kabar bohong, korupsi, dan politik uang.
Mengenai calon kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, Tjahjo menegaskan bahwa Kementerian Dalam Negeri dalam posisi tidak untuk mengintervensi. Tjahjo menyatakan ia menghormati langkah penegak hukum yang sedang melaksanakan tugasnya, baik itu dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, maupun dari Kejaksaan.
"Karena para penegak hukum mempunyai standar operasional prosedurnya masing-masing yang tak bisa diintervensi oleh lembaga lain," kata Tjahjo, Selasa (20/3).
Politisi PDI Perjuangan itu juga menambahkan bahwa garis kebijakan Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa mengintervensi apapun yang sudah menjadi keputusan yang dijalankan oleh lembaga penegak hukum.
Langkah KPK yang telah beberapa kali melakukan operasi tangkap tangan dan menetapkan kepala daerah atau calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi, menurut Mendagri, hal itu dilakukan dalam konteks penegakan hukum.
Ia mengatakan KPK melakukan langkah itu adalah untuk mewujudkan pilkada serentak tahun ini menjadi pesta demokrasi yang bersih dari praktek curang agar bisa menghasilkan pemimpin daerah yang amanah. Ia juga menghormati wacana dari KPK agar Presiden mengeluarkan perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk mewujudkan pilkada bersih meskipun untuk menerbitkan Perppu tidak bisa gegabah sebab perppu tak mudah untuk dikeluarkan kecuali ada kekosongan hukum dan keadaan memaksa.
Hingga saat ini, Mendagri masih berpedoman pada aturan yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
"Merujuk dari UU yang ada bahwa calon yang ditetapkan oleh KPK, Kejaksaan atau Kepolisian sebagai tersangka itu belum berkekuatan hukum tetap sehingga masih bisa berproses untuk mengikuti pilkada," katanya.
Kondisi itu berbeda jika calon kepala daerah berhalangan tetap, misal meninggal dunia, atau sudah diputus oleh pengadilan, atau kasusnya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut Mendagri, kalau sekadar masih ditahan, sesuai ketentuan UU, masih dibolehkan ikut proses pilkada.