REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pengamat Politik dari Universitas Brawijaya (UB), Wawan Sobari mengaku khawatir tingkat partisipasi politik warga Kota Malang menurun pada Pilwali 2018. Terlebih lagi dua dari tiga calon wali kota Malang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.
"Saya pernah berbicara dengan wong cilik (rakyat kecil) dengan ojek, sopir, pedagang dan sebagainya. Kepercayaan publik pada pemerintah atau calon wali kota terlihat menurun," kata Wawan saat diskusi publik di DPRD Kota Malang, Selasa (27/3).
Melihat hal ini, Wawan mengaku sangat khawatir efek tingkat partisipasi politik warga Malang menurun. Apalagi, dia melanjutkan, Kota Malang ditargetkan dapat mencapai 70 persen tingkat partisipasi politik pada Pilkada 2018.
Sementara dari target nasional, partisipasi politik masyarakat Indonesia diharapkan mencapai 77,5 persen. "Dan saya rasa masalah ini butuh disiasati oleh tim sukses dan KPU," tegas Wawan.
Seperti diketahui, KPK telah menetapkan 19 tersangka baru di ranah pejabat Kota Malang atas dugaan korupsi APBD-P TA 2015. Dari 19 tersangka, dua di antaranya telah ditetapkan sebagai calon wali kota Malang pada Pilwali 2018. Kedua calon tersebut, yakni Mohammad Anton dan Yaqub Ananda Gudban.
Menurut Wawan, partisipasi politik warga Malang harus berjalan normal meski kasus korupsi terus berjalan. Partisipasi penting karena bagaimana pun juga mereka tetap akan merasakan efek kebijakan dari wali kota terpilih nanti. Nasib lima tahun ke depan tetap harus ditentukan oleh warga Malang ke depannya.
Wawan berpendapat, tim sukses calon wali kota Malang harus bisa mengembalikan emosional dan daya tariknya pada warga. Kasus penetapan tersangka harus mampu ditutupi sehingga partisipasi masyarakat tak menurun.
Berbagai startegi harus dipersiapkan tim sukses termasuk KPU agar kondisi tersebut tak terjadi ke depannya. Meski kasus korupsi masih ramai diperbincangkan, Wawan justru skeptis isu ini akan tetap menguat hingga hari pencoblosan.
Hal ini diungkapkan mengingat karakter masyarakat Indonesia yang mudah tersentuh, kasihan sehingga sisi emosional lebih ditonjolkan. "Kalau sekarang efeknya masih sangat kuat, hari pencoblosan bisa berubah. Kalau di bilik suara mungkin dia berpikir dulu pernah salaman atau apa, maka itu dicoblos saja," tegasnya.