REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, mengatakan pihaknya akan memperjuangkan aturan yang melarang para mantan narapidana korupsi untuk mendaftar sebagai bakal calon legislatif (caleg) Pemilu. KPU menyatakan ingin mendorong pemerintahan yang bersih dari korupsi.
"Kami akan mencoba lagi. Tidak apa-apa jika memang rentan digugat (ke Mahkamah Konstitusi). Kami perjuangkan," tegas Wahyu ketika dijumpai wartawan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/4).
Dia melanjutkan, dalam memperjuangkan aturan tersebut, KPU tetap mendasarkan keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik secara jangka panjang. Namun, pihaknya tetap menyadari bahwa dalam UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017, mantan koruptor tidak termasuk kejahatan luar biasa sebagaimana pelaku pedofilia atau narapidana kasus narkoba.
Karena itu, dalam UU Pemilu, mantan narapidana korupsi tidak termasuk dalam pihak-pihak yang dilarang untuk mendaftar sebagai caleg. Tetapi, akan dicoba untuk mendorong bahwa koruptor itu (sudah) melakukan kejahatan yang luar biasa yang juga harus mendapat perlakuan khusus.
"Meski kami menghormati aturan bahwa yang berhak mencabut hak politik itu adalah pengadilan, tapi kami mendorong agar pemerintahan ini jadi pemerintahan bersih," tambah Wahyu.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR, Fandi Utomo, mengatakan pembatasan hak politik bagi bakal caleg bisa dilakukan. Namun, penghilangan hak politik seorang bakal caleg sebaiknya dihindari.
Menurut Fandi, pihaknya akan melihat perkembangan pembahasan rancangan peraturan KPU (PKPU) pencalonan calon legislatif (caleg) Pemilu 2019. Sebagaimana diketahui, KPU mengusulkan larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai baleg caleg. Larangan itu dimasukkan dalam PKPU pencalonan caleg tersebut.
"Nanti kami akan membahas di rapat mendatang. Pembatasan kepada hak (politik) seseorang itu, tidak boleh dilakukan dengan suka-suka. Pembatasan boleh dilakukan tapi pencabutan atau penghilangan hak (politik) itu, tidak boleh," ungkap Fandi ketika dijumpai wartawan usai rapat dengar pendapat dengan KPU di Komisi II DPR, Selasa malam.
Namun, jika pembatasan dilakukan dengan alasan tertentu, atau akibat hal-hal tertentu, masih boleh dilakukan. Sementara itu, lanjut Fandi, DPR sendiri belum mengetahui secara pasti bagaimana penekanan poin larangan bagi mantan narapidana korupsi sebagaimana yang diusulkan oleh KPU.
"Jika takut orang ini (mantan napi korupsi) menjabat lagi dan mengulang (korupsi), maka bisa dilakukan pembatasan," ujarnya.
Di pilkada kan juga dilakukan pembatasan. Misalnya dia melakukan pengumuman (status sebagai mantan narapidana), itu termasuk pembatasan. Artinya sejauh itu pembatasan dengan argumen yang kuat dan masuk akal itu dimungkinkan.
"Namun, kalau menghilangkan hak itu saya kira pembentuk undang-undang pun tak boleh melakukannya," tegas Fandi.