REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita mengatakan, ancaman larangan penggunaan minyak sawit mentah di Uni Eropa diduga akibat persaingan bisnis. Uni Eropa menilai, minyak sawit mentah lebih murah ketimbang minyak nabati lain yang harganya cenderung lebih mahal.
"Kalau saya lihat ada persaingan (bisnis), mereka memproduksi rapeseed oil dimana harganya menjadi mahal, sedangkan CPO kita lebih murah," ujar Enggar ketika ditemui di Kantor Wakil Presiden, Senin (9/4).
Adapun, produksi minyak sawit mentah menggunakan lahan yang lebih sedikit ketimbang rapeseed oil. Oleh karena itu, Enggar menilai, ada persaingan tidak sehat dalam ancaman larangan CPO oleh Uni Eropa. "Ini persaingan tidak sehat," kata Enggar.
Parlemen Uni Eropa telah menyetujui rencana phase out biodiesel berbahan minyak sawit mentah atau crude palm oil pada 2021. Kendati belum final, rencana ini mengancam ekspor biodiesel RI.
Dalam hal ini, pemerintah menilai rencana tersebut diskriminatif karena membedakan penghapusan minyak nabati olahan dari sawit lebih awal. Sementara itu, minyak nabati lain akan dihapus sebagai energi terbarukan pada 2030. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berupaya mencari posisi tawar terhadap rencana pembatasan penggunaan biodiesel tersebut.
Uni Eropa mengambil kebijakan penghapusan konsumsi CPO karena produk tersebut dianggap memiliki dampak lingkungan yang buruk. Minyak sawit kerap dituding sebagai dalang dari proses deforestasi besar-besaran di negara Asia dan Amerika Latin. Jika Parlemen Uni Eropa resmi menolak produk CPO, perang dagang berpotensi muncul antara Eropa dengan negara produsen sawit di Asia dan Amerika Latin.