REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maktab dikenal sebagai sekolah tingkat dasar sebab banyak anak Muslim yang mengawali pendidikannya di sana. Mereka mendapatkan pengantar ilmu agama dan umum. Namun, menurut pakar dunia Arab dan Islam, George A Makdisi, ilmu yang diajarkan lebih tinggi dibandingkan sekolah dasar yang dikenal sekarang ini.
Para siswa juga mendapatkan pengajaran dan pelatihan secara ketat. Kemudian, maktab memiliki siswa dan alumni yang masuk jajaran kalangan intelektual yang bisa diandalkan. Dalam konteks ini, Muhammad ibnu Walad, seorang sultan di Spanyol, mengalami pengalaman yang mengagumkan.
Pada suatu saat, Walad makan malam bersama cucunya yang merupakan siswa maktab. Di sela-sela acara makan malam itu, ia melontarkan syair secara spontan. Cucunya yang duduk di hadapannya segera membalas syair itu yang dibuatnya dengan spontan pula.
Prestasi lainnya melekat pada diri Muhammad ibn Dawud al-Zhahiri. Dia mulai menulis buku yang sangat terkenal berjudul Kitab al-Zahra atau Bunga saat ia masih menjadi siswa maktab dan berusia masih sangat belia, 15 tahun. Ayahnya, Dawud ibnu Ali al-Zhahiri, telah membaca sebagian besar karya tersebut sebelum ia mengembuskan napas terakhir.
Keturunan Khalifah al-Ma’mun yang bernama Ahmad ibnu Ali al-Zawwal menuntaskan pendidikannya di maktab pada usia 14 tahun. Ahmad melanjutkan pendidikannya dalam bidang tata bahasa dan berguru pada al-Jawaliq selama sebelas tahun. Hingga akhirnya, ia ditunjuk sebagai seorang hakim pada 1139 Masehi.
Ahmad mengungkapkan, selama menimba ilmu, ia telah menelaah banyak kitab, baik yang ia hafal maupun tidak judul karya tersebut, di bawah bimbingan al-Jawaliq. Ilmuwan lainnya, al-Bayhaqi, juga merupakan salah satu orang yang mengawali pendidikannya di maktab.
Ketika al-Bayhaqi berusia 15 tahun dan duduk di tingkat pertama maktab, ia telah hafal sebelas buku yang membahas tata bahasa, syair, serta kamus bahasa Arab tentang hukum, makhluk hidup, dan benda mati. Syair yang ia hafal termasuk syair yang dibuat penyair terkenal, al-Mutannabi dan Abu Tamam, yang dimuat dalam bunga rampai al-Hamasah.
Satu tahun kemudian, saat al-Bayhaqi berusia 16 tahun, buku yang mampu dihafalnya bertambah. Ia telah hafal empat setengah buku tentang tata bahasa, termasuk pula yang membahas mantra. Dalam usia 17 tahun, ia menjadi seorang murid dari ilmuwan ternama al-Maydani, yang pernah mengoreksi tujuh buku dalam kajian adab.
Pada saat yang sama, al-Bayhaqi mendalami teologi atau ilmu kalam melalui bimbingan dua pakar. Guru terakhir yang ia miliki adalah Qutb al-Din al-Thabasi. Ia tinggal bersama gurunya untuk belajar filsafat hingga gurunya itu meninggal dunia. Pada masa itu, ia telah berumur 37 tahun.
Tak lama kemudian, al-Bayhaqi memegang sejumlah jabatan di Naisapur. Pada 1154 Masehi, ia menyebutkan karya-karya yang telah ditulisnya hingga tahun tersebut. Ia mengungkapkan, ia telah menulis sebanyak 72 buku. Sejumlah buku itu di antaranya ditulis dalam beberapa jilid.
Beberapa karya al-Bayhaqi adalah Sejarah al-Bayhaqi yang ia tulis dalam bahasa Persia dan karya biografi berjudul Lubab al-Ansab atau Keturunan Terpilih. Selain itu, ada karya lainnya yang merupakan biografi para sastrawan yang berjudul Wisyah al-Dumya atau Pita Patung.
Tak jarang, maktab ini berfungsi sebagai sekolah menengah dan perguruan tinggi. Maktab oleh alumninya dijadikan sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan secara otodidak, mengabdi kepada seorang guru, atau hidup di tengah masyarakat di sekitar maktab. Langkah seperti itu ditempuh oleh seorang penyair abad ke-10 bernama Sayduk.
Setelah menyelesaikan studinya di Basrah, Irak, Sayduk memilih salah satu langkah di atas, yaitu hidup di tengah masyarakat di sekitar maktab. Ia tinggal bersama suku-suku Arab pedalaman selama sepuluh tahun. Di sana, ia memperdalam pengetahuan bahasa Arab klasiknya.