REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Bulan Bintang (PBB) akan mengajukan judicial review atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal tersebut mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Pasal itu menyebutkan, untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres, partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014. Ketua Bidang Pemenangan PBB Sukmo Harsono mengatakan gugatan tersebut kemungkinan akan diajukan dalam waktu dekat atau sebelum libur Idul Fitri.
"Mudah-mudahan sebelum lebaran. Gugatan sedang disusun oleh Ketum PBB (Yusril Ihza Mahendra)," katanya kepada Republika, Sabtu (28/4).
Sukmo mengatakan ingin mengajukan kembali judicial review atas pasal tersebut setelah ditolak oleh MK pada Januari lalu. Pada 11 Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Gugatan uji materi Pasal 222 diajukan Partai Idaman, PBB, tokoh ACTA Habiburokhman, dan sejumlah pihak lain.
Menurut Sukmo, subtansi gugatan PBB sebenarnya berbeda dengan Partai Idaman. Jika Partai Idaman menekankan pada hasil Pemilu 2014 yang kedaluwarsa maka PBB ingin tidak ada aturan membatasi pencalonan.
Menurut Sukmo, syarat dalam pasal tersebut sebaiknya tidak membatasi pencalonan. “Harus nol persen," kata Sukmo.
Dia mengatakan perlu ada judicial review atas pasal tersebut karena aturan ini berpotensi menyebabkan adanya calon tunggal dalam pemilihan presiden (pilpres) 2019. Dia menerangkan syarat pencalonan tersebut terbukti menyulitkan parpol mengusung capres dan cawapres.
Hanya tersisa beberapa bulan menjelang pendaftaran pada Agustus mendatang, belum ada parpol yang pasti mengusung pasangan. “Pasal tersebut sangat merugikan rakyat karena hanya memiliki pasangan capres yang terbatas dan berpotensi calon tunggal," ujar Sukmo.
PBB hanya meraih 1,8 persen suara nasional pada Pemilu 2014. Dengan demikian, PBB tidak meloloskan wakilnya ke DPR RI periode 2014-2019.
Dalam putusannya, MK menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial. Presidential threshold akan membuat presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.
Putusan juga diwarnai disssenting opinion atau perbedaan pendapat oleh dua hakim MK, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo. Kedua hakim itu sepakat ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 itu dihapus.
Baca Juga: Perludem: Ada Lompatan Logika MK Soal Presidential Threshold