REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Advokat Publik (JAP) Indonesia menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya cermat dan objektif dalam menangani perkara dugaan korupsi yang berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Potensi ketidakcermatan dalam menempatkan pihak yang bersalah (error in persona) dalam perkara itu amat besar.
JAP Indonesia berpendapat, KPK seharusnya memperdalam dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terutama yang berkaitan dengan periode penyelesaian kewajiban berupa penjualan aset-aset milik para debitur. Sepatutnya, KPK segera memproses hukum para pejabat Kemenkeu yang berwenang dan diduga melakukan pelanggaran.
“KPK harus lebih cermat dan objektif, jangan sampai salah dalam menetapkan kesalahan hukum pada seseorang (error in persona),” kata Koordinator JAP Indonesia Moin Tualeka kepada wartawan di Jakarta, Ahad (24/6).
Moin mencermati perkara yang saat ini tengah diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Ia didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjorojakti, pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia/BDNI Sjamsul Nursalim, dan istrinya Itjih S Nursalim telah melakukan pelanggaran sehubungan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Sjamsul Nursalim. Sjamsul dan istrinya belum pernah diperiksa sejak kasus ini diselidiki oleh KPK.
Kendati demikian, Moin berpendapat, perbuatan yang dilakukan oleh Syafruddin sangat erat berkaitan dengan wewenang pejabat dan lembaga lain, terutama Kemenkeu.
“Karakteristik perkara itu juga kental dimensi perdata karena berkaitan dengan perjanjian kredit antara petani tambak dan BDNI yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM),” ujar Moin.
Fakta selanjutnya, kata Moin, BDNI telah menyerahkan aset senilai Rp 4 triliun kepada BPPN untuk menyelesaikan kewajiban. Ketika BPPN berakhir masa tugasnya pada 2004, juga telah dilakukan penyerahan aset kepada Kemenkeu yang selanjutnya menjual aset tersebut melalui Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Menurut audit investigatif BPK 2017, aset itu dijual oleh PPA hanya Rp 220 miliar.
Penjualan aset dilakukan pada saat Menteri Keuangan era Jusuf Anwar dan Sri Mulyani pada 2007. Sementara itu, hak tagih BPPN terhadap BDNI diserahkan pada saat Menteri Keuangan Boediono pada 2004. Boediono pernah diperiksa KPK berkaitan dengan perkara tersebut pada Kamis (28/12/2017).
Moin menyatakan, berdasarkan fakta dan kronologi tersebut, Menteri Keuangan berwenang dan bertanggung jawab sepenuhnya atas konsekuensi penjualan aset dengan harga “diskon” itu. Apalagi, penyerahan aset itu merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian kewajiban BLBI atas nama Sjamsul Nursalim selaku pengendali BDNI berdasarkan kebijakan KKSK yang saat itu dipimpin Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti.
“Pokok masalahnya di situ. Berkaitan dengan penjualan aset jaminan petambak oleh PPA. Wewenang tersebut ada di pihak Kementerian Keuangan,” ujar Moin.
Persatuan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Dipasena pernah melaporkan dugaan korupsi penjualan aset perusahaan tersebut ke KPK pada tahun 2015. PPA menjual aset Dipasena Group kepada perusahaan asal Thailand Charoen Pokphand melalui Konsorsiun Neptune pada 2007. Enam aset Dipasena yang dijual adalah PT Dipasena Citra Darmaja, PT Mesuji Pratama Lines, PT Bestari Indoprima, PT Biru Laut Katulistiwa, PT Triwindu Graha Manunggal, dan PT Wahyuni Mandira.