REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menteri negara koordinator bidang ekonomi, keuangan dan industri (Menko Ekuin) Kwik Kian Gie menegaskan pemilik bank dagang negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim adalah obligor yang tidak kooperatif. Kwik memberikan keterangan itu ketika menjadi saksi pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (5/7).
"Sjamsul Nursalim tidak kooperatif, personal guarantee juga tidak diberikan oleh Sjamsul Nursalim," kata Kwik yang juga sebagai mantan ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat bersaksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, Kamis.
Ia menerangkan, kategori kooperatif, yakni bila obligor dipanggil maka dia datang dan bila diajak bicara dia bersedia. Namun, ia menambahkan, kategori kooperatif lainnya, yakni ada atau tidaknya uang negara yang masuk ke kas negara.
“Untuk saya obligor kooperatif belum tentu menyelesaikan masalah karena pengusaha atau obligor bisa bersikap kooperatif tapi secara de facto tidak membayar. Untuk saya ukuran kooperatif ada atau tidak uang negara yang masuk ke kas negara," jelas Kwik.
Syafruddin selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham. Kasus itu diduga merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.
Personal Guarantee adalah kewajiban perorangan untuk menjamin memenuhi perutangan saat debitur wanprestasi. BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat sehingga harus ditutup saat krisis moneter pada 1998.
Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp 47,258 triliun. Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp 18,85 triliun.
Dalam aset tersebut, termasuk piutang Rp 4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Syamsul Nursalim. Belakangan diketahui bahwa piutang Rp 4,8 triliun itu macet.
Karena itu, Sjamsul Nursalim sebagai pemilik perusahaan penjamin, yaitu DCD dan WM, harus menyerahkan personal guarantee kepada BPPN. Akan tetapi, hal itu tidak pernah diberikan Sjamsul.
"Pemilik dari sebuah PT secara pribadi seharusnya bertanggung jawab atas seluruh kekayaan pribadinya. Karena banyak penyelewenangan di PT ini maka lazimnya pemerintah meminta 'personal guarantee, jadi kami minta 'personal guarantee'," ungkap Kwik.
Menurut Kwik, utang petambak penuh dengan konflik kepentingan. Sebab pada kenyataannya, para petambak udang tidak mereka menerima kredit BDNI dan cara pembayarannya ditentukan BDNI.
"Nilai tambak utang itu adalah 0 karena sudah kering dan beracun,” kata Kwik.
Saat itu, Kwik mengatakan, terjadi demonstrasi besar-besaran para petambak dan petambak mengklaim segala sesuatu didasarkan pada dolar AS. “Petambak harus jual udang ke Dipasena dengan harga jauh lebih murah dari harga pokok, saat itu sampai kerusuhan dan ada tewas, jadi ini dikategorikan irregularity," tambah Kwik.
Saat ditemukan irregularity tersebut, BPPN memanggil kantor audit publik untuk melakukan audit terhadap BDNI dengan investigasi yang mendalam.