REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan dan Maqdir Ismail menilai ada anomali atau keanehan dalam penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang selalu diungkit setiap pergantian rezim pemerintahan di Indonesia.
Menurut Otto sejak pertama kali ini kasus ini mencuat pada 1998 hingga saat ini, BLBI seolah menjadi kasus yang tidak berujung, dimana keanehannya dari sekian banyak obligor yang menerima BLBI, hanya perkara yang melibatkan kliennya lah yang selalu dipermasalahkan.
"Setelah 20 tahun, BPK pada 2017 mengeluarkan hasil audit baru, yang mengatakan ada kerugian negara akibat pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas). Bagaimana ini bisa terjadi? Kalau kita punya hutang sudah diteken terus diproses lagi, bagaimana? Itu sebabnya saya katakan kalau tidak ada kepastian hukum," kata Otto dalam rilis tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (25/7).
Otto menjelaskan, dalam laporan Audit BPK 2002 dan 2006 secara tegas menyatakan seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim telah selesai. Untuk itu, SKL layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim. Sebaliknya laporan Audit BPK 2017 sendiri didasarkan atas permintaan KPK melalui suratnya tertanggal 4 April 2017, dan hasil laporan baru dikeluarkan BPK pada 25 Agustus 2017, setelah Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) ditetapkan sebagai tersangka pada 20 Maret 2017.
“Pemerintah harus berani memberikan keterangan kepada KPK tentang hal yang sebenarnya. Kami bukan minta pemerintah untuk intervensi tapi hanya minta klarifikasi bahwa kasus ini sudah selesai. KPK itu bagian dari pemerintah. Jangan sampai pemerintah sudah jamin tidak akan mengusut tapi diusut. Jangan sampai ada negara di dalam negara,” tegasnya.
Otto menilai laporan Audit BPK 2017 seharusnya batal demi hukum karena ada empat aspek penting terkait audit yang tidak terpenuhi di dalamnya. Keempat aspek tersebut, lanjut Otto adalah, tidak ada yang diperiksa atau auditeenya, tidak menaati azas asersi, yakni harus ada konfirmasi dari pihak yang diperiksa atau auditeenya, melanggar norma hukum (Per No. 1 BPK 2017) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti sekunder, serta hanya didasarkan pada dugaan-dugaan.
"Sudah 20 tahun berlalu, penyelesaian kasus BLBI ini tidak pernah ada akhirnya. Selama ini klien kami berjuang untuk mendapatkan keadilan. Pak Sjamsul dan istri bukan tersangka, bukan buruan. Mereka sangat menghormati perjanjian MSAA. Terlebih lagi yang dipermasalahkan bukan hutangnya mereka tapi hutang petambak,” ujar Otto.
Senada dengan Otto, Maqdir Ismail juga menyoroti unsur politik di balik penyelesaian kasus BLBI. "Setiap menjelang pemilu masalah ini selalu ribut. Penyelidikan diumumkan tahun 2003 dimulai di era Abraham Samad, kemudian puncak penyelidikan terjadi di era KPK baru. Isu BLBI selalu digunakan jadi kendaraan bagi orang-orang yang mengincar jabatan baru," tukasnya.