REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia tidak perlu terpengaruh dengan keputusan parlemen Israel yang beberapa waktu lalu telah mengesahkan Undang-Undang (UU) terkait Negara Bangsa Yahudi yang dinilai sangat kontroversial oleh seluruh masyarakat dunia. Di dalam UU ini tidak hanya menegaskan superioritas Yahudi, tetapi juga mendiskriminasi warga negara lain yang tinggal di negara tersebut. Termasuk salah satunya adalah menghapus bahasa arab sebagai bahasa resmi
Bagi bangsa Indonesia UU tidak memiliki dampak karena terjadi di Israel dan mengikat warga negara Israel sendiri. Meskipun jelas kebijakan ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan semangat agama yang menolak superiotas etnik dan bangsa tertentu. Karena agama sendiri tidak hanya menjadi semangat menolak rasisme tetapi juga meneguh persaudaraan.
“Kalau buat Indonesia sendiri sih tidak ada dampak, dalam artian secara langsung kita tidak punya efek sama sekali dengan munculnya UU Israel itu. Terjadinya kan di Israel, jadi itu undang-undang atau peraturan yang mengikat warga negara Israel sendiri. Kalau di dalamnya ada orang Arab maka hal tersebut menjadi konsekuensi sebagaimana konsekuensi orang Arab yang masuk ke dalam negara Israel,” ujar Wakil Direktur International Conference of Islamic Scholars (ICIS), Khariri Makmun, Jumat (27/7).
Namun demikian menurut Khariri, kalau pun nantinya ada respons dari masyarakat ataupun kelompok-kelompok Islam, itupun hanya bisa bertarung pada tataran opini di media saja. “Jika mungkin nanti muncul sebagian respons atau reaksi dari kelompok-kelompok Islam, tapi kita tidak boleh mengintervensi kepada negara lain. Karena itu terjadi di Israel, bukan di Palestina,” ujarnya.
Menurutnya, sejatinya kita tidak perlu kaget dengan apa yang dilakukan perlemen Israel yang diskriminatif atau rasis tersebut. Karena dari awal pendirian negara Israel ini memang berorientasi untuk membuat negara yang berbasis pada agama Yahudi. Sehingga seluruh kebijakan itu selalu lebih mengutamakan dahulu kepentingan orang-orang Yahudi.
“Dalam sebuah negara yang memang berbasis pada keyakinan agama, pasti akan muncul diskriminasi berikutnya. Apalagi di sini Yahudi itu selalu mengatakan bahwa mereka adalah Asyabul Mukhtar yang artinya mereka adalah masyarakat atau umat yang dipilih oleh Allah. Merasa umat yang paling tinggi, umuat yang paling merasa lebih mulia daripada yang umat-umat yang lain. Atau umat yang terpilih,” ujarnya menjelaskan.