Jumat 10 Aug 2018 13:31 WIB

Ketika Sang Ayah Pasang Badan untuk Anak

Saya sempat berpikir mati, minta tolong sudah gak bisa gerak, lalu ditolong tetangga.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Agus Yulianto
Tim siaga bencana AMNT bersama anggota TNI berusaha mengeluarkan korban selamat dari runtuhan akibat gempa di Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Selasa (7/8).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Tim siaga bencana AMNT bersama anggota TNI berusaha mengeluarkan korban selamat dari runtuhan akibat gempa di Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Selasa (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Khairil Anwar tengah menanti hidangan makan malam yang tengah disiapkan istrinya. Sedang dua anaknya yang kelas 1 SD dan 21 bulan berada di depan televisi. Rutinitas yang selalu terjadi bakda Maghrib.

Belum sempat mencicipi hidangan yang akan disajikan, keluarga Khairil dikejutkan dengan guncangan gempa berkekuatan magnitudo tujuh skala Richter (SR). Sang anak yang kelas 1 SD dan istri berlari keluar rumah, ia pun demikian dengan menggendong si kecil. Namun naas, belum sempat keluar rumah ia tertimpa reruntuhan.

"Pas mau lari dinding yang di atas jatuh, saya berlindung di tembok, nah tembok tempat berlindung ini yang jatuh dan menindih kita," ujar Khairil.

Dengan sigap ia membungkukkan diri guna melindungi si kecil, meski tubuhnya menjadi taruhannya. Reruntuhan bangunan pun jatuh tepat di atas punggungnya. Begitu reda, ia ulurkan si kecil kepada sang istri. Pria berusia 38 tahun ini kemudian berhasil keluar dari reruntuhan dengan menahan sakit, namun tak mampu melangkah jauh hingga pada akhirnya tetap berada di rumahnya yang sudah rata dengan puing.

"Saya sempat berpikir mati, minta tolong sudah gak bisa (gerak), lalu ditolong tetangga, kondisinya gelap sekali karena listrik padam," katanya.

Kisah Khairil menjadi satu kabar duka dari Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diguncang gempa hebat berkekuatan magnitudo 7,0 SR pada Ahad (5/8) malam.

Khairil sendiri merupakan Kepala Desa Genggelang, Kecamatan Gangga. Kampungnya jauh dari mana-mana karena letaknya yang berada di ketinggian, atau areal perbukitan. Dari Kantor Kecamatan Kecamatan Gangga jarak tempuh menuju kampungnya sekira tujuh kilometer (Km) dengan medan jalan yang berkelok dan menanjak.

Ia bersama keluarga kini tinggal di tenda darurat bersama 25 kepala keluarga lain yang juga rusak rumahnya. Tak hanya di sini, 20 dusun yang ada di Desa Gelanggang, kata dia, hampir semuanya terdampak dan harus tinggal di pengungsian dengan peralatan seadanya.

"Ada 14.500 jiwa di desa ini, letaknya itu mulai dari bawah di dekat lautan sampai ke atas sana di perbatasan hutan," lanjutnya.

Ia menyampaikan, 12 warga desanya meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan saat gempa. Keterbatasan membuat prosesi pemakaman dilakukan dengan seadanya.

"Kita di kabupaten (Lombok Utara) semua berduka, termasuk rumah bupati dan wabup kan hancur semua, jadi KLU (Kabupaten Lombok Utara) ini total, kita di Genggelang bisa dikatakan 100 persen rusak dan enggak layak layak huni," kata dia.

Khairil sendiri mengaku telah mendapat sedikit penanganan oleh tukang urut di kampungnya. Namun, hal ini tetap membuatnya belum bisa bergerak ke mana-mana. Kata dia, banyak juga korban luka yang belum mendapatkan penanganan medis.

"Kemarin adik-adik (pemuda kampung) yang baru lulus (kuliah) suruh dia keliling sudah, yang luka dirawat di lokasi, dijahit seadanya tanpa dibius, karena enggak ada polindes, roboh semua," ucapnya.

Ia menyampaikan hingga saat ini belum ada bantuan dari pemerintah. Padahal, warga sangat membutuhkan bantuan seperti makanan, minuman, selimut, tenda, dan asupan untuk bayi.

"Bantuan dari pemerintah belum ada. Cuma semalam jam 02.00 Wita, ada teman-teman dari FPI bawa air minum dan mie instan," kata Khairil.

Ia menyebutkan, terdapat enam dusun di desanya yang belum tersentuh bantuan dari pemerintah. Peralatan mengungsi yang ada saat ini berasal dari swadaya masyarakat, entah itu mengambil dari sisa pakaian yang masih bisa terpakai maupun membeli secara patungan.

"Terpal ukuran 4x6 kita beli seharga Rp 160 ribu, padahal biasanya di bawah Rp 100 ribu. BBM eceran juga ikut naik sampai Rp 25 ribu per liter," ucapnya.

Untuk air bersih, ia meminta pemuda kampung secara bergiliran mengambil air dengan galon hingga jerigen dengan jarak sekira dua km dan antri hingga empat jam.

Kata dia, sebenarnya bantuan dari pemerintah bisa diambil di Posko Utama Penanganan Gempa Lombok di halaman Kantor Bupati Lombok Utara di Kecamatan Tanjung, yang berjarak sekitar 23 km atau 45 menit perjalanan. Namun, pengambilan harus dilakukan oleh kepala desa, hal yang tidak mampu ia lakukan saat ini.

"Terlalu formal juga harus kepala desa yang turun, kita suruh Pak Sekdes enggak dikasih, kita turun enggak mungkin, kita diangkat saja sakit," kata dia.

Khairil juga mengungkapkan keresahan warga akan adanya pencurian di kampungnya pascagempa. Ia berharap aparat melakukan patroli mengamankan lokasi. Selain itu, ia juga meminta pemerintah memikirkan nasib warganya ke depan dengan memberikan bantuan rumah.

"Tentu bangun rumah tidak bisa dalam satu-dua bulan, tapi tolong diupayakan, karena kalau kondisi seperti itu terus, entah sampai berapa lama kita tinggal di pengungsian," ungkap Khairil. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement