REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Remaja serta Pemuda Masjid Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI), KH Ahmad Bagdja mengatakan, jika Kementerian Agama (Kemenag) akan memperbarui tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, sebaiknya dibahas bersama ormas Islam.
KH Ahmad menyampaikan, Kemenag bisa meminta masukan dari DMI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) jika ingin memperbaharui tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala. Hal ini agar tidak ada yang salah menerjemahkan tuntunan tersebut.
"Ditafsirkan melarang azan keras-keras nggak benar juga, mesti urun rembuk bareng, kalimat yang debatable diperbaiki dan tujuan (tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid) diperjelas," kata KH Ahmad kepada Republika.co.id, Rabu (5/9).
Ia menyarankan, Kemenag boleh melibatkan MUI, DMI dan ormas Islam. Ormas-ormas tersebut bisa ikut mensosialisasikan maksud sebenarnya dari tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushla yang dibuat Kemenag. Prinsipnya penggunaan pengeras suara bisa membuat nyaman orang yang diseru melaksanakan shlat.
DMI juga mengingatkan masyarakat jangan mudah terpancing oleh tafsiran yang tidak benar. Dalam situasi politik menjelang pemilihan presiden (pilpres), pasti suasananya hangat atau ada pihak yang ingin memanfaatkan situasi. Maka, umat Islam harus berhati-hati.
"Yang dikedepankan harus husnuzon jangan suudzon, kita berbaik sangka dulu, kemudian dicari apa maksudnya," ujarnya.
KH Ahmad mengatakan, orang bisa saja menafsirkan berbagai macam persoalan untuk kepentingan sendiri. Jadi ukhuwah islamiyah dan wathaniyah harus terus dijaga supaya tidak ada peluang bagi pihak yang ingin memecah belah bangsa.
Jika ada hal yang kurang jelas dan kurang mengerti, maka lakukan proses tabayyun. Minta penjelasan kepada tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin organisasi keagamaan.
"Jangan langsung diekspos rasa ketidaksenangannya," katanya.
Sebelumnya, sosialisasi tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala oleh Kemenag menuai reaksi di masyarakat. Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, surat edaran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam) Nomor B.3940/DJ.III/HK.00.07/2018 pada 24 Agustus 2018 tersebut sesuai dengan aturan yang sudah ada pada 1978.
"Itu aturan Ditjen Bimas Islam tahun 1978, Kemenag tidak membuat kebijakan baru, namun mensosialisasikannya tahun ini," kata Lukman di sela-sela rapat pembahasan RKA-K/L Kementerian Agama Tahun 2019 bersama Komisi VIII DPR RI di Kompleks Senayan pada Selasa (4/9), dilansir di laman resmi Kemenag.
Lukman menjelaskan, edaran Bimas Islam yang dibuat tahun 1978 tersebut sifatnya internal. Kemenag tidak mengatur azan, tapi memberi tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar dan mushola. Meskipun masih ada bagian-bagian dari edaran itu yang harus dievaluasi.
"Saya tegaskan lagi, kita tidak mengatur azan, namun mensosialisasikan tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar dan mushala," ujarnya.
Ia menjelaskan, penggunaan pengeras suara di rumah ibadah sifatnya situasional karena mempunyai variasi yang beragam. Intinya tenggang rasa antara pengurus rumah ibadah dan masyarakat sekitar, begitu juga sebaliknya.
Baca juga: Kemenag Bangka tak Larang Azan dengan Pengeras Suara