REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, menilai pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang baru saja usai, belum dapat menjawab upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sebaliknya, pengawasan yang terlalu ketat dalam pelaksanaan UN ini tanpa disadari telah menanamkan bibit ketidakpercayaan terhadap guru dan murid.
"Padahal esensi pendidikan adalah menanamkan kejujuran. Nah pelaksanaan UN kali ini masih belum bisa menjawabnya. Misalnya saja dalam hal pengawasan. Tanpa disadari, pengawasan yang terlalu ketat telah menanamkan bibit ketidakpercayaan terhadap guru dan murid itu sendiri,'' kata Darmaningtyas, di Jakarta, Kamis (19/4).
Darmaningtyas juga menegaskan, pelaksanaan UN ini merupakan bentuk kebijakan bohong yang dilakukan negara terhadap dunia pendidikan. Penilaian itu didasari karena ujian sekolah telah diabaikan penilaiannya. "Meski ujian di sekolah itu berperan dalam memberi kontribusi kelulusan, namun tetap saja UN-lah yang kemudian menjadi penentu kelulusan," ujarnya.
Ia juga menambahkan pelaksanaan UN ini sebenarnya tidak perlu dilakukan di sekolah kejuruan. Pasalnya, lulusan SMK lebih mengutamakan kompetensi dan bukan nilai yang dihasilkan dari UN. "Dengan adanya UN maka murid SMK di kelas 3 tidak perlu PKL lagi tapi konsentrasi mereka terfokus pada persiapan UN. Akibatnya kompetensi mereka menjadi rendah."
Darmaningtyas lebih condong jika pemerintah menirukan model penilaian seperti tes TOEFL. Tes ini nantinya, kata dia, dapat menjadi referensi terhadap mutu pendidikan nasional. "Tetapi jangan lupa di sana tidak ada unsur pemaksaan kepada semua murid yang mengikutinya."