REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Infrastruktur masih menjadi salah satu masalah pelik dalam dunia pendidikan Indonesia. Banyak sekolah yang bangunannya sudah tak layak.
Banyak juga yang jumlah lokal kelasnya tak sebanding dengan jumlah siswa, sehingga ada kelas yang terpaksa harus mengungsi belajar atau menunggu adik kelasnya selesai menggunakan kelas mereka. Fenomena ini nyata terjadi di MI Bi’tsatul Islamiyah, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Sekolah ini merupakan satu dari 54 sekolah penerima manfaat program Sekolah Relawan Indonesia (SLI) yang digagas oleh Dompet Dhuafa Pendidikan (DD Pendidikan). Program yang terlaksana secara serentak di 16 wilayah Indonesia ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sekolah dan kualitas pembelajaran dengan pendekatan literasi.
Agar implementasi program berjalan lancar, DD menempatkan seorang Konsultan Relawan SLI (Kawan SLI) pada setiap wilayah. Tugas utama mereka adalah melakukan pendampingan dan memberikan konsultasi kepada kepala sekolah dan guru dalam pelaksanaan program.
Siswa MI Bi’tsatul Islamiyah, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat belajar di masjid.
Hajra Yansa, adalah Kawan SLI yang bertugas di MI Bi’tsatul Islamiyah. Ia menceritakan bagaimana anak-anak di sekolah itu rela bertukar kelas setiap harinya demi belajar. Rutinitas bertukar kelas ini dimulai pada tahun 2017, hampir dua tahun berlangsung. Penyebabnya karena madrasah kekurangan ruang kelas.
“Hanya ada lima ruang kelas yang tersedia, sedangkan jumlah rombongan belajar adalah 6 kelas. Akibatnya, ada 2 kelas yang menggunakan ruangan yang sama yaitu Kelas 4 dan Kelas 3,” kata Harja.
Ruangan bercat putih dengan hiasan pohon di dinding belakangnya menjadi alternatif 'perdamaian' dua kelas tersebut. Papan mading berpenyangga yang terlihat lusuh, bertengger di tengah membagi dua ruangan kelas.
Satu papan tulis di depan harus dibagi dua, tengahnya diberi garis vertikal hitam sebagai tanda pemisah. “Bisa dibayangkan suasana kelas ini, terlalu sempit untuk para siswa. Jangankan mengekspresikan diri, belajar saja susah konsentrasi. Tentunya pembelajaran tidak berjalan dengan efektif,” kata Harja.
Menyadari kondisi tersebut, dua guru pengampu kedua kelas, Pak Asep dan Pak Soleh, akhirnya saling berkompromi untuk bergantian menggunakan kelas setiap harinya. Jika pagi hari tiba, kelas yang mendapat giliran akan menggunakan ruangan.
Sedangkan kelas lainnya hanya meletakkan tasnya di bangku dan mengambil alat tulis seperlunya, kemudian menuju teras masjid untuk belajar. Nantinya, pukul 10.30 saat siswa Kelas 2 pulang, barulah mereka berbondong-bondong memindahkan tasnya untuk melanjutkan belajar di ruang kelas itu. Demikian berlaku setiap hari, bergantian antara Kelas 3 dan Kelas 4.
Di pelataran masjid anak-anak ini belajar tanpa bangku. Ada yang belajar sambil duduk, tengkurap menulis dan membungkuk membaca. Lantai keramik tak beralas menopang mereka setiap harinya, bahkan menyuguhkan dingin saat musim hujan tiba.
“Meski begitu semangat tetap terpancar dari wajah polos anak-anak ini. Saling melempar tawa di antara mereka dan guru kerap tercipta dalam pembelajaran. Itulah pengorbanan yang mereka bayar untuk mencicipi ilmu dari dunia pendidikan,” kata Harja.
Benak Harja pun terusik untuk bertanya adakah anak-anak Kelas 3 dan 4 ini memiliki rasa iri pada siswa di kelas lain yang dengan nyamannya bisa duduk di bangku menerima pelajaran.
“Saya bertanya pada Jihan, siswa Kelas 4, senang tidak belajar dengan kondisi seperti ini. Dia dan temannya menjawab, ‘Senang, Kak!’. Saya bertanya lagi apa alasannya. Kata Jihan, ‘Suasananya sejuk Kak, ada pohon, ada sawah’,"cerita Harja.
Wajah polos Jihan berusaha meyakinkan sembari telunjuknya menunjuk hamparan sawah yang padinya tumbuh menghijau. Pemandangan yang jarang ditemui di perkotaan.
"Saya telah mendapatkan jawaban yang tepat. Saya pun jika dalam posisi yang sama akan merasa senang,” kisah Harja.
Harja pun mengakui dirinya mendapatkan pelajaran berharga dari kondisi di MI Bi’tsatul Islamiyah ini. Di belahan bumi Indonesia masih banyak keterbatasan infrastruktur sekolah. Tapi itu bukan alasan untuk menyurutkan asa para siswa, justru mereka menemukan pemantik untuk tetap bisa menyalakan api asa itu.