Selasa 18 Sep 2018 18:03 WIB

BPJS Kesehatan Masih Cari Cara Tutupi Defisit dan Tunggakan

BPJS menderita defisit alias rugi hingga Rp 9,75 triliun sepanjang tahun 2017.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Indira Rezkisari
Petugas melayani warga di kantor Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan KCU Jakarta Pusat, Rabu (1/11).
Foto: Yasin Habibi/ Republika
Petugas melayani warga di kantor Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan KCU Jakarta Pusat, Rabu (1/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih memutar otak untuk menutupi defisit perusahaan sekaligus penunggakan pembayaran yang terjadi pada rumah sakit atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris menuturkan, untuk perkara penunggakan pembayaran layanan kesehatan, BPJS Kesehatan sendiri harus terkena hukuman bayar denda sebanyak satu persen ke pihak Rumah Sakit.

"Kalau telat bayar kena denda 1 persen artinya pada saat bersamaan untuk menyelesaikan masalah ini, kami juga yang mencari jalan keluar," ujar dia di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (18/9).

Penyedia layanan kesehatan belakangan ini mengeluhkan tertunggaknya pembayaran BPJS Kesehatan untuk pelayanan kesehatan dan gaji karyawan. Sementara BPJS mencari jalan keluar, Menurut Fachmi penyedia layanan kesehatan dapat menyelesaikan perkara keuangan dengan program anjak piutang.

"RS bisa menggunakan program anjak piutang untuk menyelesaikan gaji karyawan dan lain-lain dengan pihak ketiga. Kalau kita bicara bunga tidak sampai 1 persen per bulan," ujar dia.

Kemudian, soal defisit yang dialami, BPJS Kesehatan pun masih mencari cara dengan berkoordinasi dengan pemerintah. Sedari awal, kata Fachmi, program ini konstruksi iurannya belum sesuai dengan hitungan. Prinsip pengelolaan keuangan ini, antara anggaran berimbang pendapatan dan pengeluaran harus sama. Sumber pendapatan pertama berasal dari iuran.

"Untuk saat ini memang iuran belum sesuai dengan hitungan akademik," ujar dia.

Menurut Fachmi, terdapat dua opsi untuk menanggulangi defisit. Pertama adalah dengan menaikkan iuran. Namun, opsi ini tidak dipilih karena daya beli masyarakat sedang melemah. Opsi kedua dengan mengurangi pengeluaran. Tapi opsi ini juga tidak dipilih agar pelayanan pada masyarakat jangan sampai berkurang.

Akhirnya, opsi dana suntikan tambahanlah yang diambil. Percairan posting anggaran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sebesar Rp 9 triliun pun dipilih untuk mengatasi utang jatuh tempo.

"Tentu nanti ada review lagi untuk menyelesaikan itu. Prinsip tadi bagaimana anggaran berimbang. Untuk siapkan anggaran, semua stakeholder ini bagian kami di dapur bagaimana layanan ini tidak berhenti," kata dia.

BPJS menderita defisit alias rugi hingga Rp 9,75 triliun sepanjang tahun 2017. Dengan pendapatan sebesar Rp 74,25 triliun yang didapat dari iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), total pengeluarannya justru mencapai Rp 84 triliun.

Sementara Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo mengatakan perkiraan defisit BPJS Kesehatan pada 2018 mencapai Rp 10,98 triliun. Angka ini diperoleh setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Defisit yang disampaikan saat itu Rp 16,58 triliun. Setelah BPKP melakukan review itu ada koreksi, koreksinya sebesar Rp 5,6 triliun. Sehingga hasil review BPKP defisit BPJS sebesar sekitar Rp 10,98 triliun," kata Mardiasmo, dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Senin (17/9).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement