Rabu 26 Sep 2018 00:13 WIB

Mantan Ketua KPK: Parpol Semakin Kehilangan Kepekaan Moral

Parpol masih membiarkan mantan koruptor mencalonkan diri sebagai caleg.

Rep: Muhyiddin/ Red: Ratna Puspita
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM - M. Busyro Muqoddas
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM - M. Busyro Muqoddas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengatakan partai politik saat ini sudah semakin kehilangan kepekaan moral dan sosial. Sebab, parpol masih membiarkan mantan koruptor mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) pada Pemilu Serentak 2019. 

Karena itu, Busyo mengimbau kepada masyarakat, khususnya civitas akademika terbangun dari tidurnya untuk memberikan sikap terkait kondisi demokrasi saat ini. "Saya orang kampus, tetapi melihat situasi kampus kita sekarang, baik negeri atau swasta senyap, terlalu lama senyap," ujar Busyro saat ditemui usai menjadi keynote speaker dalam diskusi bertema ‘’Putusan MA terhadap PKPU di mata publik’’ di Kantor Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (25/9).

Busyo mengatakan, demokrasi saat ini memang sudah berada pada titik nadir atau titik paling rendah. Sebab, demokrasi yang berjalan saat ini menghasilkan sistem yang korup. 

Dengan sistem yang korup itu, para koruptor mudah menggasak uang rakyat di APBN ataupun dalam pembangunan infrastruktur. "Jadi, saya melihat ini sedang krisis multidimensional. tapi ini dimulai dari parpol. Jadi sumber permasalahannya parpol," kata Busyro.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 7.968 Calon Daftar Tetap (CDT) DPR RI Pemilu 2019. Dari ribuan CDT itu, ada 38 nama caleg yang merupakan mantan narapidana korupsi, sehingga mantan koruptor berkesempatan untuk menjadi wakil rakyat.

Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan, ada dorongan yang besar dari publik agar masing-masing partai politik bisa menarik dukungan terhadap 38 caleg yang pernah terlibat kasus korupsi. Sebab, ada partai politik yang mengaku justru merasa kecolongan terhadap kadernya itu. 

"Walaupun masih ada 38 nama itu, kita juga perlu terus mendorong partai politik untuk menarik dukungannya karena partai politik ada juga yang mengaku bahwa partainya kecolongan," ujar Almas.

Bahkan, lanjut dia, ada juga partai yang mengaku tidak mengetahui bahwa kadernya di tingkat daerah pernah terlibat kasus korupsi. Karena itu, Almas meminta kepada partai tingkat pusat untuk lebih tegas lagi dengan memerintahkan kadernya di daerah untuk segera mencoret nama caleg mantan napi korupsi.

"Saya rasa dari segi waktu masih memungkinkan untuk membersihkan nama partai dengan cara menarik nama-nama mantan napi kasus korupsi yang lolos dari CDT," ucap Almas. 

Menurut Almas, penarikan dukungan terhadap caleg mantan napi korupsi tersebut akan menunjukkan kepada masyarakat bahwa parpol masih mempunyai komitmen yang besar terhadap agenda pemberantasan korupsi dan pembenahan parlemen kedepannya. "Jadi masih ada 38 nama itu. Semoga 12 partai politik itu segera mencabut dukungan kepada mantan napi kasus korupsi," kata dia. n 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement