REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan, tidak terdapat moratorium atau penundaan dalam batas waktu tertentu hukuman mati di Indonesia pada kasus yang berat, seperti kasus narkoba dan terorisme. Prasetyo pihaknya akan menyampaikan ke masyarakat, jika akan melaksanakan eksekusi terhadap terpidana.
"Kami belum ada moratorium, waktu kami bertemu dengan Jaksa Agung Rusia, dia sempat menanyakan masalah itu dan saya katakan kami masih menerapkan hukuman mati," ujar Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (12/10).
Menurut Prasetyo, Jaksa Agung Rusia mendukung hukuman mati yang diterapkan Indonesia, tetapi terikat dengan aturan yang berlaku di wilayah Eropa sehingga sejak 19 tahun lalu telah menghentikan hukuman mati.
Terkait penerapan hukuman mati, ia mencontohkan pada Jumat terdapat tujuh kasus yang diperintahkannya untuk dituntut hukuman mati berupa kasus jaringan peredaran narkoba. "Pada saatnya kalau kami akan eksekusi akan kami kasih tahu," ucap Prasetyo.
Sepanjang 2015-2018, Kejagung telah melaksanakan eksekusi terhadap 18 terpidana mati yang terbagi dalam tiga tahap atau jilid. Jilid 1, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (WN Australia anggota Bali Nine), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze (WN Nigeria), Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brazil) dan Zainal Abidin (Indonesia).
Jilid 2, sebanyak enam terpidana mati, yakni, Ang Kiem Soei (WN Belanda), Marco Archer (Brazil), Daniel Enemuo (Nigeria), Namaona Denis (Malawi), Rani Andriani (Indonesia) dan Tran Bich Hanh (Vietnam). Kesemuanya kasus narkoba. Jilid 3, sebanyak empat terpidana mati, Freddy Budiman (WN Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria) dan Michael Titus Igweh (Nigeria).