REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menunggu kedatangan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. KPK kembali melayangkan surat pemanggilan sebagai saksi terhadap pasangan suami istri pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu sebagai saksi pada Senin (22/10) dan Selasa (23/10).
"Untuk hari ini dan kemarin dijadwalkan penyidik KPK mengaggendakan pemeriksaan sebagai saksi dalam pengembangan kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI, setelah sebelumnya tidak hadir ya ketika dipanggil Untuk dimintakan keterangannya," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Selasa (23/10).
Menurut Febri, tim kembali melakukan pemanggilan, surat sudah diantar ke Singapura baik rumah ataupun kediaman dan ke Indonesia. "Jadi di Indonesia ada satu kantor juga yang sudah diserahkan suratnya oleh KPK yaitu di kantor Gajah Tunggal di Hayam Wuruk sehingga kami berharap tidak ada alasan lagi misalnya surat belum disampaikan pada yang dipanggil tersebut karena kami sudah berupaya untuk menyampaikan baik di Singapura ataupun di Indonesia dengan bekerjasama dengan otoritas di Singapura tersebut," ujarnya.
"Jadi kami tunggu. Perlu diingat pemanggilan ini atau permintaan keterangan ini sebenarnya juga bisa menjadi ruang klarifikasi bagi yang bersangkutan jika ingin menjelaskan sesuatu," tambah Febri.
KPK sendiri memang sudah beberapa kali memeriksa saksi-saksi untuk penyelidikan baru kasus korupsi penerbitan SKL BLBI ini. Sejumlah saksi yang telah diperiksa untuk penyelidikan baru tersebut yakni, Dorodjatun Kuntjoro Jakti dan Putu Gede Ary Suta.
Namun, saat ini Febri masih enggan mengungkap terang siapa nama sosok yang sedang diselidiki tersebut. KPK baru akan mengumumkan nama tersangka baru di kasus korupsi SKL BLBI ini setelah memiliki kecukupan alat bukti.
Sejalan dengan itu, Febri menegaskan bahwa ada atau tidaknya gugatan praperadilan, KPK telah berkomitmen menuntaskan kasus BLBI ini. Terlebih, setelah adanya putusan terhadap terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Setelah terdakwa pertama divonis di Pengadilan Tipikor, tentu kami mendalami peran pihak lain dari pertimbangan hakim, fakta persidangan yang sudah muncul, dan permintaan keterangan pada pihak lain yang terkait," terang Febri.
Dalam perkara ini, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung. Selain itu, Syafruddin juga diganjar denda sebesar Rp 700 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Majelis hakim meyakini Syafruddin terbukti bersalah karena perbuatannya melawan hukum. Di mana, menurut hakim, Syafruddin telah melakukan penghapusbukuan secara sepihak terhadap utang pemilik saham BDNI pada 2004.
Padahal, dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, tidak ada perintah dari Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menghapusbukukan utang tersebut. Dalam analisis yuridis, hakim juga berpandangan bahwa Syafruddin telah menandatangi surat pemenuhan kewajiban membayar utang terhadap obligor BDNI, Sjamsul Nursalim. Padahal, Sjamsul belum membayar kekurangan aset para petambak.
Syafruddin juga terbukti telah menerbitkan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) kepada Sjamsul Nursalim. Penerbitan SKL BLBI itu menyebabkan negara kehilangan hak untuk menagih utang Sjamsul sebesar Rp4,58 triliun. Syafruddin pun tidak terima terhadap putusan tersebut. Pihak Syafruddin saat ini sedang mengupayakan banding ke Pengadilan Tinggi DKI.