REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sosial keagamaan, Fachry Aly, mengatakan, kontroversi yang terjadi terkait kasus pembakaran bendera tauhid pada peringatan Hari Santri di Garut harus menjadi pelajaran bagi PBNU. Kasus ini menjadi pelajaran dan perenungan perlunya organisasi kaum nahdilyin ini bisa benar-benar kembali ke semangat Khittah 1926.
"Ada dua hal yang ingin saya sampaikan terkait soal pembakaran bendera itu. Pertama, PBNU harus bisa benar-benar menunjukkan kenetralannya dalam tarikan politik praktis. Tidak terseret arus ke sana-kemari. Untuk itu, seruan agar kembali ke Khittah 1926 yang telah ada itu harus benar-benar diwujudkan secara konkret,'' kata Fachry Ali, di Jakarta, (24/10).
Munculnya kontroversi terkait kasus bendera ini, lanjut Fachri, mempunyai konsekuensi banyak hal kepada kaum nahdilyin pada umumnya dan Pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU). ''Jadi ini yang kedua, apa pun alasannya terkait soal bendera itu, PB NU harus juga berperan aktif untuk mencegah terjadinya konflik sosial di masyarakat. Sebab, kalau ini terjadi, harganya sangat mahal dan terkira,'' katanya.
''Bukan hanya itu saja, kalau sampai terjadi konfilk sosial, demokrasi yang ingin kita sampaikan menjadi percuma. Bagi saya mencegah terjadinya konflik sosial lebih penting dari sekadar berdebat soal bendera itu milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau itu bendera tauhid. PBNU harus secara jelas dapat menuntaskannya dengan baik dan tepat,'' ujar Fachry menegaskan.
Selain itu, menurut Fachry, kaum nahdliyin bila sudah ada panduan yang jelas dari institusi kelembagaan resmi, seperti PBNU, mereka jadi jelas sikapnya. Ini mencegah agar publik tidak menjadi semacam jerami kering yang mudah terbakar oleh berisiknya isu hingga usaha memercikan api konflik.
''Kasus ini benar-benar pelajaran mahal bagi segenap pengurus PBNU. Lembaga ini tak boleh terombang ambil dalam wacana politik. Kita semua harus cegah konflik sosial terjadi sedini mungkin,'' katanya menandaskan.