REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dekan Fakultas Pertanian IPB Suwardi menilai eksistensi mafia pangan di Indonesia mengganggu stabilitas pangan maupun produksi pertanian nasional. Oleh sebab itu, ia menilai ulah mafia pangan benar-benar terasa dan bukan sekadar komoditas isu sebab telah berkembang lama.
"Keberadaan mafia pangan amat merugikan petani dan masyarakat karena bisa mempengaruhi, bahkan mengatur harga pangan," ujar Dekan Fakultas Pertanian IPB Suwardi, Jumat (16/11).
Sebelumnya Komisi Ombudsman menyerukan supaya Kementan tidak mengembuskan tuduhan adanya praktik mafia pangan dan menganggapnya sebagai biang keladi di berbagai persoalan pertanian yang mengakibatkan keputusan impor komoditas. Salah satunya jagung yang saat ini sedang marak dibahas.
Menanggapi itu, Suwardi mengatakan, soal praktik mafia pangan tak bisa dipandang sebagai 'lemparan' isu terhadap berbagai persoalan pertanian. Namun telah menjadi fakta yang banyak terbukti pengungkapannya di lapangan.
"Mafia pangan mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya luar biasa besar. Data mereka keluarkan untuk mempengaruhi kebijakan impor. Dari impor itulah mafia pangan meraup keuntungan besar," ucap Suwardi.
Menurut Suwardi, praktik mafia pangan amat jelas diamati dari sikapnya yang mengganggu tujuan swasembada pangan dan akan melakukan berbagai strategi menghambatnya. Kendati begitu, Suwardi menilai, pemerintah Indonesia, khususnya Kementan, selama ini telah cukup baik dalam memberangus praktik mafia pangan.
Beberapa hal yang dilakukan, misalnya pembentukan Satgas Mafia Pangan, penerbitan regulasi tentang bea masuk impor, operasi pasar dan penimbunan gudang bahan pangan serta penerapan sanksi, sudah mempunyai dampak positif.