REPUBLIKA.CO.ID, SOREANG -- Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bandung mengungkapkan media sosial (medsos) menjadi salah satu penyebab terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Bandung. Saat ini, tren kasus kekerasan seksual yang masuk ke Polres Bandung akibat medsos mengalami peningkatan.
Kanit PPA Polres Bandung, Ipda Mutia mengungkapkan kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah usia 18 tahun menempati urutan pertama di Kabupaten Bandung. Diantaranya kekerasan seksual yang dilakukan antara teman sekolah dan orang tua kepada anak. Kemudian, dilanjutkan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
“Kebanyakan kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat terus kita mendapatkan laporan (kasus, korban) kenal di facebook. Padahal baru kenal dan belum kenal sama sekali terus hubungan badan dan ditinggalkan,” ujarnya kepada Republika.co.id saat dihubungi, Selasa (10/12).
Menurutnya, selain karena faktor medsos dan gadget, penyebab terjadi kekerasan seksual karena pola asuh keluarga. Saat ini, dirinya mengungkapkan banyak sepasang suami istri yang bekerja atau cerai kemudian menitipkan anaknya ke neneknya. Kondisi tersebut dinilai tidak maksimal.
Ia menuturkan, kasus kekerasan seksual kepada anak yang dilaporkan keluarga korban ke Polres Bandung pada 2017 mencapai 78 kasus. Sedangkan pada 2018 periode Januari hingga Desember mencapai 83 kasus. Dirinya mengatakan jumlah tersebut bisa bertambah sebab masih ada korban yang tidak melapor ke Polres Bandung.
“Kalau nggak salah ada 200 kasus (kekerasan seksual) yang belum lapor (ke polisi),” ungkapnya.
Dirinya menambahkan, selama dua tahun terakhir pihaknya bersama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Bandung terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan siswa tentang pencegahan kekerasan seksual.
“Kita sosialisasi ke kampung dan desa di 31 kecamatan. Sosialisasi tentang pencegahan kemudian ke sekolah-sekolah juga. Korban juga didatangi. Kemarin terakhir sosialisasi di Ciluncat dan Pamekaran,” katanya.
Dirinya mengungkapkan dari hasil sosialisasi tersebut diketahui jika siswa dan orang tua tidak mengetahui terkait ancaman hukuman jika melakukan tindakan kekerasan seksual. “Kesimpulan besar (mereka) belum mengerti soal ancaman hukuman dan dampaknya,” katanya.