REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Dewan Kesenian Semarang (Dekase) menilai mendiang sastrawan NH Dini merupakan sosok yang bisa menjadi inspirasi bagi anak muda dalam bersastra, terutama di Kota Semarang. "Hampir semua karyanya berlatar Semarang, seperti novelnya Sekayu. Beliau memang sejak kecil tinggal di Semarang. Di Kampung Sekayu," kata Ketua Dekase Handry TM di Semarang, Selasa malam (4/12).
Sastrawan NH Dini meninggal dunia pada usia 82 tahun di Rumah Sakit St Elisabeth Semarang, Selasa, setelah mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan lalu lintas di ruas tol Tembalang, Semarang, tepatnya di Jalan Gombel. Ia tertimpa muatan truk di depannya saat perjalanan pulang dari tusuk jarum.
Novelis bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin itu sempat mendapatkan perawatan di RS ST Elisabeth Semarang akibat luka yang dialaminya, namun sekitar pukul 16.30 WIB mengembuskan nafas terakhirnya.
Banyak karya yang dihasilkannya, seperti Pada Sebuah Kapal (1972), Namaku Hiroko (1977), Pertemuan Dua Hati (1986), belum termasuk karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Handry menceritakan kesannya yang mendalam terhadap sosok NH Dini ketika pernah mengawalnya langsung saat menghadiri pertemuan novelis internasional di Brisbane, Australia, sekitar 1993.
"Saya masih muda, ketika itu masih 30 tahun. Bangga bisa diajak beliau menghadiri pertemuan novelis internasional di Australia. Ternyata, sambutannya luar biasa. Nama beliau dielu-elukan di sana," kenangnya.
Kabar kepergian NH Dini, diakui sastrawan asal Semarang itu, sempat mengagetkannya karena selama ini mengenal sosoknya yang selalu terlihat sehat dan prima meski usianya tak lagi muda. "Selaku pribadi dan Ketua Dekase, saya menyampaikan rasa kehilangan yang sangat atas kepergian Bu NH Dini. Beliau adalah sastrawati besar. Bukan hanya Semarang, Indonesia, tetapi kelas dunia," katanya.
Namun, diingatkannya, nama besar NH Dini diperoleh melalui proses yang panjang dan dari bawah, berawal di Kampung Sekayu, Semarang, tempatnya menghabiskan masa kecil dan remajanya. Sempat pula menjadi pramugari, novelis kelahiran Semarang, 29 Februari 1936 itu kemudian menikah dengan Yves Coffin, konsul Prancis yang mengharuskannya berpindah-pindah negara sebelum akhirnya memilih menetap di Indonesia hingga akhir hayatnya.
"Ini yang bisa menjadi inspirasi anak-anak muda dalam bersastra. Mereka semua bisa menjadi seperti sastrawan-sastrawati dunia seperti beliau kalau mau berproses dan berproses," kata Handry.