REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan mengkaji kemungkinan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan. Penurunan tarif ini dilakuakan untuk meningkatkan daya saing industri nasional.
"Kami kaji penurunan PPh Badan, karena berdasarkan komparasi dengan negara emerging, tarif kita 25 persen memang tidak tinggi, tapi bukan yang paling rendah," kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (8/1).
Menurut dia, tarif PPh Badan di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara tetangga. PPH Badan di Singapura sebesar 17 persen, Thailand sebesar 20 persen, Vietnam sebesar 22 persen, dan Malaysia sebesar 24 persen.
Penyesuaian tarif PPh Badan ini dapat menjadi insentif bagi pelaku usaha karena bermanfaat untuk mendorong industri manufaktur yang berbasis ekspor maupun subtitusi impor. "Dengan Malaysia dan Thailand, kita tidak lebih jelek. Tapi lebih rendah dibandingkan Filipina yang lebih tinggi yaitu 30 persen," ujar Sri Mulyani.
Namun, ia mengakui penetapan tarif PPh Badan ini membutuhkan revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan. Penetapan tarif tidak bisa diputuskan melalui penerbitan instruksi presiden maupun peraturan menteri.
"Kami melakukan evaluasi dan kajian, tapi PPh Badan membutuhkan perubahan UU. Jadi ada proses politik dan legislasi dengan DPR, tidak bisa melalui Inpres dan PMK," ujarnya.
Saat ini, untuk meningkatkan minat pelaku industri dalam negeri, pemerintah sudah menyiapkan fasilitas insentif perpajakan lainnya seperti pembebasan pajak dalam bentuk tax holiday maupun tax allowance. Selain itu, upaya lain dari otoritas fiskal kepada pelaku usaha adalah memperbaiki pelayanan melalui sinergi antara institusi pajak maupun kepabeanan dan cukai.
"Kami juga melakukan pelayanan terpadu antara pajak dengan bea cukai. Melalui kolaborasi ini, pelayanan kepada pelaku usaha dapat semakin baik," ujarnya.