REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut pihak kepolisian melakukan "kekerasan" kepada perempuan yang terlibat dalam prostitusi daring. Kekerasan itu lantaran kepolisian mengekspose secara berlebihan.
"Pengungkapan besar-besaran korban itu bentuk kekerasan baru yang seharusnya dia dilindungi sebagai korban dalam prostitusi daring," ujar Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati di Jakarta, Selasa (8/1).
Ia mengatakan, polisi melanggar hak korban yang seharusnya identitasnya dilindungi, baik itu laki-laki maupun perempuan. Sebab, pemberitaan tentang korban lebih besar dibandingkan berita mengenai proses pengungkapan kasus yang baru berjalan.
Selain kekerasan terjadi kepada korban perempuan, diskriminasi, pelabelan dan peletakan stigma buruk pun harus dihadapi oleh korban perempuan. Siti Rakhma pun mempertanyakan penetapan pihak perempuan yang terduga sebagai korban menjadi saksi harus lapor berkali-kali dan menduga proses yang dijalankan kepolisian tidak benar.
"Apa yang dituduhkan pada dia, atas dasar apa dia ditangkap, pasal apa dia ditangkap, kenapa wajib lapor? Apa yang salah sebagai korban, dia bukan pelaku, ada orang yang menjual dia," katanya.
Polisi disarankan mengutamakan proses pengusutan perdagangan orang serta mengekspose tersangka yang menjual perempuan pada lelaki hidung belang. Komnas Perempuan menyayangkan media massa melakukan ekspose berlebihan kepada perempuan (korban) yang terlibat dalam prostitusi daring.
Komnas Perempuan meminta agar media massa tidak mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan dalam kasus ini adalah artis yang diduga terlibat dalam prostitusi daring. Tak hanya media, Komnas Perempuan juga meminta penegak hukum untuk berhenti mengekspose kepada publik penyelidikan prostitusi daring yang dilakukan.
Masyarakat juga diimbau tidak menghakimi secara membabi buta kepada perempuan yang menjadi korban.