Ahad 27 Jan 2019 02:26 WIB

Soal Indonesia Barokah, Pakar: Pidana Jadi Alat Terakhir

Pakar lainnya menyatakan langkah kepolisian menunggu kajian Dewan Pers sudah tepat.

Rep: Gumanti Awaliyah / Red: Ratna Puspita
Petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Banyuwangi menunjukkan isi Tabloid Indonesia Barokah di Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (25/1/2019).
Foto: Antara/Budi Candra Setya
Petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Banyuwangi menunjukkan isi Tabloid Indonesia Barokah di Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (25/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari UIN Sunan Kalijaga Ahmad Bahiej menilai, dalam kasus tabloid Indonesia Barokah, hukum pidana harus dilihat sebagai ultimum remedium. Artinya, hukum pidana dijadikan sebagai alat terakhir yang digunakan setelah mengupayakan sanksi lain dijatuhkan.

“Kalau masalah hukum pidana itu harus dijadikan alternatif terakhir ketika alat-alat yang lain tidak bisa, maka hukum pidana,” jelas Ahmad saat dihubungi Republika, Sabtu (26/1).

Baca Juga

Alat yang dimaksud, jelas dia, yakni berupa imbauan atau komitmen kedua tim pemenangan calon presiden (capres) untuk tidak saling menebar isu hoaks. Dia menganalisa, kasus Indonesia Barokah merupakan buntut dari situasi politik Indonesia saat ini.

“Ini kan masa pemilu, semua pihak dan dua kubu harus menjaga ucapan. Baiknya dari 2 kubu itu bisa membuat statemen yang bisa meneduhkan,” tegas dia. 

Pengamat hukum pidana, Romly Atmasasmita, menilai, langkah kepolisian untuk menunggu kajian dari Dewan sudah tepat. Sebab, jika kasus tersebut dipastikan produk jurnalistik maka hukuman harus sesuai dengan UU Pers.

Jika bukan produk jurnalistik maka bisa dijerat pidana. “Jika bukan karya jurnalistik atau bukan dibuat oleh seorang jurnalis maka Polri bisa menjerat pelaku dengan UU Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” kata Romly saat dihubungi Republika, Sabtu (26/1).

Kendati demikian, menurut dia, pelapor dan polri bisa juga langsung melakukan penyelidikan tanpa menunggu Dewan Pers. Sebab, identitas penyebar tidak jelas apakah perseorangan atau korporasi. 

“Menurut saya Polri jika diminta oleh  pelapor dapat menggunakan wewenang untuk menyelidiki penyebar tabloid itu,” kata Romly.

Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Chaerul Huda, punya pendapat berbeda. Ia menilai, kepolisian tidak perlu menunggu kajian Dewan Pers terkait tabloid Indonesia Barokah. 

Menurut dia, tabloid Indonesia Barokah yang berisi tindakan penghasutan, penghinaan dan fitnah sudah termasuk pada ranah pidana.  Artinya, menurut dia, setelah ada pihak pelapor, kepolisian bisa langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut tanpa harus menunggu kajian dari Dewan Pers.

“Kenapa mesti menunggu? Mestinya praktis //dong// lakukan penyelidikan kalau itu isinya penyebaran berita bohong, fitnah. Kalau menunggu kerja Dewan Pers, keburu ilang orang (pelaku)nya,” kata Chaerul saat dihubungi Republika, Sabtu (26/1).

Keterangan Dewan Pers, dia menjelaskan, bisa diminta ketika mengumpulkan pembuktian pers dalam proses penyidikan. Hal yang sekarang mesti segera diusut, dia mengatakan, yaitu siapa dalang dari penerbitan tabloid tersebut dan bagaimana dia mendapat alamat masjid-masjid di Indonesia.

Nah yang perlu segera ada pengusutan itu siapa dibalik tabloid dan bagaimana dia mendapatkan alamat masjid. Dewan Pers diperlukan juga, tapi nanti ada waktunya, sebagai pembuktian salah satu saja sebagai pembuktian pers,” ungkap dia.

Tabloid Indonesia Barokah memang tengah santer diperbincangkan. Tabloid Indonesia Barokah berisi konten politis terkait Pilpres 2019 yang menyudutkan salah satu capres. Bahkan di salah satu halaman depan tabloid juga menyinggung peristiwa Reuni 212, dengan judul “Reuni 212, Kepentingan Umat atau Kepentingan Politik?.

Kendati demikian dari penelusuran Republika, alamat kantor redaksi tabloid Indonesia Barokah ternyata fiktif. Kantor redaksi tertulis beralamatkan di Jalan Haji Kerenkemi, Rawa Bacang, Kelurahan Jatirahayu, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. 

Sebelumnya, Kepolisian telah meminta peninjauan terkait Tabloid Indonesia Barokah kepada Dewan Pers. Kepolisian baru akan bergerak jika memang ditemukan ada unsur pelanggaran pidana pada penerbitan dan penyebaran tabloid tersebut.

"Ini merupakan ranahnya Dewan Pers. Jadi dewan pers yang harus berdiri di depan dulu, yang melakukan assessment terhadap tabloid tersebut," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri pada Selasa (23/1). 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement