REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf menilai fatwa haram tidak mencoblos atau golput cukup bisa diterima. Dalam konteks pemilu, fatwa haram ini dinilai perlu dikeluarkan karena kekhawatiran gerakan golput semakin meluas.
"Terus terang ini bukan setuju atau tidak setuju, saya bisa menerima pandangan seperti ini," kata Wakil Ketua TKN Arsul Sani di Kompleks DPR RI, Jakarta, Selasa (26/3).
Dalam konteks pemilu ,menurut Arsul, haramnya golput adalah apabila golput dijadikan seruan gerakan dan akan meluas. Bila gerakan Golput meluas, kata Arsul, maka akan mengakibatkan siapapun yang terpilih menjadi seolah kurang diharapkan
"Pemimpin pemerintahan menjadi dalam tanda kutip kurang legitimate angka golputnya, jadi tinggi itu juga biasanya kurang berwibawa, itu juga kemudian (golput) dianggap sebagai sebuah keharaman," kata Arsul.
Lebih lanjut, golput haram yang dimaksud itu, kata Arsul adalah bila keadaan pemilih memenuhi syarat pemilihan tanpa ada halangan, tapi kemudian pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. "Yang dimaksud golput di sini punya hak pilihnya, tapi gak digunakan kalau dalam agama itu unsur syar'i itu halangan yang sah menurut hukum agama," ujar dia menegaskan.
Calon wakil presiden nomor urut 01, KH Ma'ruf Amin kembali menegaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengharamkan golput sejak 2009 silam melalui Ijtima' Ulama di Padang Panjang, Sumatra Barat. Fatwa tersebut juga sudah disosialisasikan pada Pilpres 2014 lalu.
Menurut kiai Ma'ruf, fatwa tersebut dimunculkan lagi oleh pengurus MUI lantaran ada pihak-pihak yang menginginkan agar masyarakat banyak yang golput di Pilpres 2019 ini. "Saya kira itu sudah dari dulu. Saya sudah buatkan itu 2009 di Padang Panjang, supaya jangan membuang suara. Karena fatwa itu dimunculkan lagi karena ada isu kelompok tertentu mencoba mempengaruhi untuk itu (golput)," ujar Kiai Ma'ruf kelada wartawan di Pondok Pesantren Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (26/3).