REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian terkait sejumlah pasal dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam putusannya, MK memperbolehkan masyarakat kembali mengurus pindah memilih dan menggunakan surat keterangan (suket) jika belum memiliki KTP-el.
Adapun pemohon dari uji materi terdiri dari tujuh pihak, yakni Perludem (Pemohon 1), Hadar Nafis Gumay (pemohon 2), Feri Amsari (pemohon 3), Augus Hendy (pemohon 4), A. Murogi bin Sabar (pemohon 5), Muhamad Nurul Huda (pemohon 6), dan Sutrisno (pemohon 7). Perkara permohonan uji materi ini teregistrasi dengan nomor 20/PUU-XVII/2019.
Tujuh pemohon ini mengajukan uji materi pasal Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4), ayat (9), Pasal 350 ayat (2), Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. "Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan pemohon 1 pemohon 4, pemohon 5, pemohon 6 dan pemohon 7 untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Kamis (28/3).
MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon Pasal 348 ayat (9) terkait syarat KTP-el dalam melakukan pencoblosan. MK memperbolehkan pemilih untuk bisa memilih tidak hanya dengan KTP-el. Pemilih tetap bisa memilih dengan suket perekaman KTP-el yang dikeluarkan oleh Dinas Dukcapil.
"Menyatakan frasa 'KTP-el' dalam Pasal 348 ayat (9) UU nomor 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula surat keterangan perekaman KTP-EL yang dikeluarkan oleh dinas dukcapil," tutur Anwar.
Selain itu, MK juga menyatakan frasa 'paling lambat 30 hari' pada Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Menurut MK, jika pindah memilih dilakukan dalam kondisi tidak terduga, di luar kemampuan dan kemauan pemilih, maka pindah memilih bisa diurus hingga paling lambat tujuh hari sebelum hari H pemungutan suara.
"Sepanjang tidak dimaknai paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara, kecuali bagi pemilih dalam kondisi tidak terduga di luar kemampuan dan kemauan pemilih. Karena sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara. Ditentukan paling lambat tujuh hari sebelum hari H pemungutan suara," lanjut Anwar.
Kemudian, MK juga menyatakan frasa 'penghitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara' pada Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
MK menilai karena pemilu dilakukan secara serentak dengan melibatkan 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden, 16 partai politik nasional dengan tiga tingkat pemilihan legislatif dan di Aceh ditambah 4 partai lokal serta pemilihan DPD, maka penghitungan suara bisa diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara.
"Sepanjang tidak dimaknai hanya dilakukan dan selesai di TPS, TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara dan dalam hal pengitungan suara belum selesai dan dapat diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara," papar Anwar.
Namun, MK menolak permohonan pasal Pasal 350 ayat (2) tentang syarat pembentukan TPS dan Pasal 348 ayat (4) tentang hak pemilih pindah TPS tidak diterima MK. Meskipun MK menolak pembentukan pembentukan TPS khusus, namun MK memberikan keleluasaan kepada KPU untuk membuat TPS tambahan dalam hal ada pemilih yang memenuhi syarat terkonsentrasi pada titik tertentu yang melampaui daya tampung seluruh TPS.
"Menyatakan permohonan pemohon terkait Pasal 350 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) tidak dapat diterima," pungkas Anwar.