REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pasangan Putra Mahkota Kekaisaran Jepang Pangeran Naruhito dan istrinya Masako menawarkan banyak hal baru. Mereka pasangan kekaisaran Jepang pertama yang memiliki latar belakang akademisi, multilingual, dan berpengalaman tinggal bertahun-tahun di luar negeri.
Selama di luar negeri Pangeran Naruhito bahkan mencuci bajunya sendiri. Pasangan itu sedang bersiap memangku jabatan sebagai kaisar dan permaisuri Jepang. Dengan apa yang pasangan itu miliki, harapan mereka dapat lebih internasional dan menyentuh kehidupan rakyat Jepang sehari-hari sangat tinggi.
"Saya pikir ini kesempatan bagi generasi baru anggota keluarga kekaisaran untuk merangkul agar sedikit mendorong batasan yang telah diterima secara konvensional," kata pengamat dari Wilson Center, Shihoko Goto, Ahad (28/4).
Ia menambahkan Masako yang berusia 55 tahun memiliki pengalaman menjadi seorang diplomat. Menurut Goto, pasangan ini memiliki latar belakang yang unik.
"Dan mereka memiliki minat, saya yakin dan memang mereka harusnya memiliki kemampuan untuk lebih terlibat," ujar Goto.
Goto menambahkan pasangan ini juga lahir jauh setelah Perang Dunia Kedua dimana saat itu Kaisar Hirohito dianggap sebagai tuhan. Orang tua Naruhito, yakni Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko menjumpai rakyat Jepang terutama untuk menenangkan mereka setelah terjadi bencana.
Keputusan Akihito untuk turun takhta memicu perdebatan apakah hal ini keputusan yang tepat atau tidak. Ia menjadi kaisar Jepang pertama yang turun takhta sejak 200 tahun yang lalu. Mantan pejabat kekaisaran mengatakan ada dua pandangan atas peran Akihito.
"Pertama, Akihito sebagai kaisar harus aktif dan berinteraksi dengan rakyat. Pandangan kedua, yang harus ia lakukan bukan hanya berdoa, tapi mempertimbangkan masa depan. Saya pikir kami tidak memiliki kedua pilihan itu, kaisar yang hanya ada tidak akan mendapat kepercayaan dan empati dari rakyat," katanya.
Walaupun Naruhito berniat meneruskan pekerjaan orang tuanya tapi ia juga mengatakan monarki harus beradaptasi. Para pengamat mengatakan hal ini dapat berarti ia berbicara lebih lantang dan menjangkau lebih banyak aspek, memperkuat nilai-nilai keluarga kekaisaran sebagai identitas Jepang.
"Mengingat zaman sekarang, keluarga kekaisaran harus menggunakan hal-hal semacam jejaring sosial untuk mengungkapkan opini mereka dalam batas tertentu, jika bukan kata-kata maka bisa foto di Instagram," kata psikiater dan penulis buku tentang perempuan di kekaisaran Jepang, Rika Kayama.
Kayama mengatakan Naruhito berswafoto dengan orang-orang di luar negeri. Masako juga mungkin memiliki beberapa hal yang ingin ia katakan. Banyak orang yang menilai Masako kesulitan menempatkan dirinya di kekaisaran.
Karena hal itu ia tidak tampil di depan publik selama satu dekade. Sementara Michiko kerap dianggap 'tanpa catat' selama masa pengabdiannya.
"Ketika Masako mengunjungi korban bencana alam, mereka merasakan ia melalui masa-masa yang sulit seperti mereka. Melebihi rasa syukur rakyat memiliki permaisuri seperti Michiko, dengan Masako mereka merasakan empati, dia akan lebih dekat lagi," kata asisten profesor sejarah Nagoya University Hideya Kawanishi.
Dalam pesan-pesan ulang tahunnya Masako kerap mengungkapkan keprihatinannya kepada anak-anak kurang beruntung dan bermasalah. Ada kemungkinan dua isu ini yang akan ia kejar.
Sementara itu, Naruhito yang mempelajari sungai di abad pertengahan memiliki ketertarikan terhadap isu-isu air dan konservasi. Ada tanda-tanda ia menerima perubahan iklim.
"Ini memainkan kepentingannya, juga kepentingan nasional, dan juga kepentingan lintas batas, banyak isu seperti itu, mereka memiliki wadah unik yang dapat mereka gunakan, hal-hal seperti lingkungan atau menjangkau lintas batas untuk pengertian dan dialog yang lebih luas lagi di saat dunia semakin rabun dan picik," kata Shihoko Goto
Namun, menurut Kawanishi, dibutuhkan kesabaran untuk menghadapi orang-orang Jepang yang antiperubahan. Kawanishi mengatakan kaisar Akihito dan permaisuri Michiko juga dikritik di awal masa jabatan mereka.
"Contohnya ketika Michiko berlutut untuk menenangkan rakyat dan mengambil tangan mereka, ia dikritik karena merusak otoritas kekaisara', jadi mereka bergerak dengan perlahan-lahan untuk menorehkan jejak di banyak hal, mereka ubah sesuatu, tunggu, lalu ubah lagi," kata Kawanishi.