REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Prof Malik Fadjar menuturkan, Kiai Ahmad Dahlan pernah pula mengingatkan pesan Ali bin Abi Thalib. Utamanya, tentang cara mendidik yang harus disesuaikan dengan zaman.
Jadi, ia menilai, pendidikan memang harus selalu mengacu kepada masa depan, walau tanpa meninggalkan akar-akarnya. Itulah yang dirintis sejak awal Muhammadiyah dan dikembangkan hingga kini.
Uniknya, sejak saat itu Kiai Dahlan sudah memberikan penekanan terhadap peranan guru. Jauh sebelum Unesco bicara pentingnya perbaikan guru dalam rangka perbaikan kualitas pendidikan global. Bagi Malik, langkah melelang seluruh kekayaan untuk menggaji guru-guru di Muhammadiyah menjadi satu dari begitu banyak contoh nyata komitmen Kiai Dahlan. Bahkan, telah diterapkan sistem silang guru-guru.
"Ada dari Taman Siswa, ada dari Budi Utomo, ada guru-guru dari sekolah-sekolah Katolik, bahkan sudah membangun silaturahim tentang pendidikan dengan pastor-pastor kala itu," kata Malik.
Hari ini, ia menilai, tidak terbantahkan hampir semua sendi pendidikan mengacu kepada Revolusi Industri 4.0. Tapi, Malik mengingatkan, di sisi lain itu menunjukkan betapa tidak sederhananya sistem pendidikan.
Malik melihat, prinsip menyenangkan, menggembirakan, mengasyikan dan mencerdaskan justru kurang dari lem baga-lembaga pendidikan. Anak didik penuh beban karena semua nilai-nilai dipaksakan masuk.
Untuk itu, ke depan ia merasa harus ada kemauan mengubah suasana, paradigma, sekaligus pola pikir sekolah untuk bekerja. Artinya, harus sudah diterapkan sistem-sistem yang mampu melahirkan bekal diri.
"Ini yang saya lihat masih kurang diperhatikan. Lembaga pendidikan justru memberikan beban penuh kepada anak didik sehingga semua nilai-nilai dipaksa harus masuk," tuturnya.
Interaksi lingkungan
Vokasi, sebagai kemampuan terapan, mau tidak mau harus diterapkan sebagai satu bekal sistem pendidikan masa depan. Sebab, bagi Malik, jika tidak anak-anak kita walau ada pada masa depan akan menjalani kehidupan dengan cara masa lalu.
"Sekali lagi, pendidikan tidak ber jalan atau hidup di tengah-tengah sua sana yang kosong tapi sudah bisa ber interaksi dengan lingkungan, baik secara kelemba gaan, orang maupun kelompok," ujar Malik.
Malik menegaskan, pendidikan ha rus dikembalikan kepada prinsip me nyenangkan, menggembirakan, meng asyikan dan mencerdaskan. Tentu, semua itu disesuaikan kondisi dan ke khasan daerah masing-masing.
Dalam Hari Pendidikan Nasional ini, ia berpesan agar tidak dijadikan sekadar seremonial. Tapi, harus men jadi momentum mengembangkan kualitas lembaga pendidikan sebagai pemberi bekal kemampuan terapan diri.
"Saat ini merupakan momentum penting untuk mengembangkan pendi dikan yang berkualitas, agar anak didik kita nanti punya bekal diri,'' ucap dia.