REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada awal pekan ini kembali terkoreksi seiring pelemahan mata uang Asia. Rupiah pada Senin (13/5) pagi melemah 21 poin atau 0,15 persen menjadi Rp 14.348 per dolar AS, dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.327 per dolar AS.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, pelemahan rupiah terjadi pasca rilis data neraca transaksi berjalan (current account) yang dirilis oleh Bank Indonesia akhir pekan lalu. "Neraca transaksi berjalan tercatat defisit sebesar 2,6 persen dari PDB, membaik dibandingkan kuartal IV 2018 yang tercatat defisit 3,59 persen dari PDB tetapi relatif masih tinggi dibandingkan kuartal I 2018 yang sebesar defisit 2,01 persen dari PDB," ujar Lana di Jakarta, Senin (13/5).
Dari eksternal, inflasi Amerika Serikat (AS) pada April 2019 tercatat 2 persen (tahun ke tahun/yoy), naik dari 1,9 persen (yoy) pada Maret 2019, tetapi masih dibawah proyeksi 2,1 persen (yoy). Angka inflasi April tersebut merupakan yang tertinggi sejak November 2018. Kenaikan inflasi ini karena naiknya harga minyak mentah.
Sementara itu, secara bulanan inflasi AS pada April tercatat 0,3 persen (bulan ke bulan/mom), melambat dibandingkan Maret 0,4 persen (mom) "Inflasi AS ini masih sangat aman dan belum menjadi kekawatiran naiknya suku bunga The Fed, yang justru berpotensi turun diantaranya karena ‘tekanan’ permintaan Presiden Trump," kata Lana.
Lana memprediksi, pada Senin (13/5) ini rupiah masih berpotensi menguat di kisaran Rp14.300 per dolar AS sampai Rp14.320 per dolar AS.
Mata uang Asia antara lain yuan melemah 0,44 persen terhadap dolar AS, won melemah 0,8 persen, dolar Singapura 0,19 persen, dan baht 0,12 persen. Sedangkan yen menguat 0,18 persen terhadap dolar AS.