REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi menyatakan pesawat tak berawak (drone) menyerang dua stasiun pompa minyaknya, Selasa (14/5). Ini terjadi dua hari setelah sabotase kapal tanker minyak Saudi di dekat Uni Emirat Arab (UEA).
Serangan pada Selasa terjadi di stasiun pompa lebih dari 200 mil (320 Km) barat Riyadh. Menteri Energi Saudi Khalid Al-Falih dalam pernyataan yang dikutip Kantor Berita Resmi Arab Saudi (SPA), mengatakan, serangan tersebut ditujukan ke dua stasiun pemompa minyak untuk pipa saluran timur-barat. Pipa tersebut menyalurkan minyak Arab Saudi dari Provinsi Timur ke Pelabuhan Yanbu.
Ia mengatakan serangan tersebut telah menimbulkan kebakaran pada satu stasiun pompa yang akhirnya bisa dikendalikan. Pada Selasa pagi, stasiun televisi Al-Masirah, corong kelompok milisi Syiah Yaman, Al-Houthi, mengatakan gerilyawan telah melancarkan serangan terhadap instalasi minyak Saudi, tapi tidak memberi perincian. SPA mengatakan Aramco, perusahaan minyak negara Arab Saudi, menghentikan operasi pipa saluran itu sebagai langkah pencegahan setelah serangan tersebut.
Serangan pada Ahad di empat tanker di Fujairah telah meningkatkan kekhawatiran AS dan Iran kemungkinan menuju konflik militer. Militer Amerika Serikat (AS) menyatakan siap untuk kemungkinan ancaman yang akan terjadi pada pasukan AS di Irak. Ancaman itu mungkin timbul dari pasukan yang didukung Iran.
Presiden AS Donald Trump membantah laporan New York Times bahwa para pejabat AS sedang mendiskusikan rencana militer untuk mengirim 120 ribu pasukan ke Timur Tengah melawan serangan atau senjata nuklir Iran. "Ini berita palsu, oke? Sekarang, akankah saya melakukan itu? Benar. Tetapi kami belum merencanakan untuk itu. Semoga kita tidak harus merencanakan untuk itu. Dan jika kami melakukan itu, kami akan mengirim pasukan yang jauh lebih banyak dari itu," ujar Trump kepada wartawan.
Serangan drone terjadi dengan latar belakang ketegangan AS-Iran, menyusul keputusan Washington bulan ini untuk mencoba memangkas ekspor minyak Iran menjadi nol. Selain itu, mereka juga meningkatkan kehadiran militernya di Teluk dalam menanggapi ancaman Iran.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei mengatakan, tidak akan ada perang dengan AS. Meskipun memang ada ketegangan yang meningkat atas kemampuan nuklir Iran, program misilnya dan dukungannya untuk proksi di Yaman, Irak, Suriah dan Lebanon.
"Tidak akan ada perang apa pun. Bangsa Iran telah memilih jalur perlawanan," katanya melalui TV pemerintah Iran.
Dia mengulangi Teheran tidak akan bernegosiasi dengan Washington mengenai kesepakatan nuklir Iran 2015 dengan negara-negara besar. Sedangkan Trump menarik AS dari perjanjian nuklir Iran setahun yang lalu, dan telah meningkatkan sanksi ekonomi terhadap Iran.
Namun berbeda lagi dengan kesepakatan Iran pada Barack Obama. Iran setuju untuk mengekang kapasitas pengayaan uraniumnya, jalur potensial menuju bom nuklir, sebagai imbalan atas bantuan sanksi.