REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang menjerat pengusaha Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Terkait hal tersebut, penyidik memeriksa dua orang saksi yakni pengacara Ary Zulfikar dan Dirut PT Berau Coal Tbk, Raden C Eko Santoso Budianto, pada Selasa (2/7).
"Penyidik mendalami keterangan saksi terkait mekanisme penyaluran BLBI dan mekanisme pengembalian aset serta hal-hal lain yang terkait proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Indonesia (BDNI) selaku Obligor Bantuan Likuiditas Bak Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Selasa (2/7).
Sedianya, penyidik KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan menteri koordinator bidang perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Sakti dan Senior Advisor Nura Kapital, M Syahrial. Namun, keduanya tak bisa memenuhi panggilan dan meminta jadwal ulang.
"Untuk Syahrial penjadwalan ulang pekan depan karena sedang berada di luar negri dan untuk Prof Dorojatun menyampaikan surat ada agenda lain hari ini, penjadwalan ulang Kamis pekan ini," ujar Febri.
Nama Dorodjatun muncul dalam surat dakwaan mantan Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung. Jaksa menduga Dorodjatun yang saat itu menjabat ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) sebagai pihak yang turut bersama-sama Syafruddin, Sjamsul, dan Itjih telah merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul selaku pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004.
Dalam kasus ini, Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Sebab, saat dilakukan financial due dilligence dan legal due dilligence (LDD), disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp 220 miliar. Atas perbuatan tersebut, keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.