Selasa 09 Jul 2019 09:47 WIB

Kasus Baiq Nuril yang Melukai Perempuan

Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril

Red: Elba Damhuri
Menkumham Yasonna Laoly (tengah) berjabat tangan bersama Anggota DPR fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka (kedua kiri), Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril (kedua kanan) dan Kuasa Hukum Baiq Nuril, Joko Dumadi (kiri) usai melakukan pertemuan bersama di Kemenkumham, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Menkumham Yasonna Laoly (tengah) berjabat tangan bersama Anggota DPR fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka (kedua kiri), Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril (kedua kanan) dan Kuasa Hukum Baiq Nuril, Joko Dumadi (kiri) usai melakukan pertemuan bersama di Kemenkumham, Jakarta, Senin (8/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keputusan Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril, seorang guru sekolah menengah di Mataram, NTB yang dipidana karena merekam obrolan melecehkan oleh atasannya, berbuntut panjang. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menilai jika kasus tersebut tidak dikenai hukum progresif, akan melukai perasaan banyak perempuan lainnya.

Menurut Menkumham, bisa jadi ada banyak perempuan lain yang mengalami hal serupa dengan yang dialami Baiq. Mereka kemudian takut untuk melaporkan kekerasan seksual ataupun pelecehan seksual yang dialami karena menengok kasus yang menimpa Baiq.

"Mereka tidak berani bersuara karena orang yang harusnya korban justru dipidanakan," kata Yasonna di kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (8/7).

Menkumham menambahkan, kasus Baiq Nuril juga memiliki dimensi politik sehingga harus ditangani dengan baik. Dimensi politik yang dimaksud adalah soal relasi antara laki-laki dan perempuan.