Selasa 09 Jul 2019 17:14 WIB

Kekeringan Terjadi di 7 Kabupaten dan Kota di Jabar

Padahal, daerah ini adalah kawasan dengan intensitas hujan tertinggi di Jawa Barat,

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah anak memanfaatkan areal persawahan yang terdampak kekeringan untuk bermain bola di Cibiru Hilir, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (3/7/2019).
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Sejumlah anak memanfaatkan areal persawahan yang terdampak kekeringan untuk bermain bola di Cibiru Hilir, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (3/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kemarau tahun ini, menyebabkan tujuh kabupaten/kota di Jabar mengalami kekeringan dan krisis air bersih. Bahkan, menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat, Supriyatno, kekeringan tak hanya dialami di kawasan pantai utara Jabar saja. Namun, sejumlah daerah dengan curah hujan tertinggi di Jawa Barat pun kini mengalami krisis air bersih.

Supriyatno menjelaskan, pihaknya telah menerima laporan krisis air bersih di Kota dan Kabupaten Bogor. Padahal, daerah ini adalah kawasan dengan intensitas hujan tertinggi di Jawa Barat, bahkan Indonesia.

Baca Juga

"Yang di Bogor itu kami mendapat laporan adanya krisis air. Jadi permukaan air sumur mereka surut saat kemarau ini. Diindikasikan air hujan tidak tertampung ke sumur-sumur, tapi langsung ke sungai," ujar Supriyatno kepada wartawan dalam kegiatan Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate, Selasa (9/7).

Menurut Supriyatno, sampai pertengahan kemarau ini, di Jabar ada tujuh kabupaten/kota yang terdampak kekeringan dan krisis air bersih. Yakni, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, dan Kota Tasikmalaya.

BPBD, kata Supriyatno, terus berupaya agar dampak kemarau tersebut tidak meluas ke kawasan lainnya. Yakni, dengan melakukan berbagai upaya dan antisipasi untuk menangani kekeringan di kawasan yang terdampak.

"Kami berupaya dengan Dinas ESDM supaya kekeringan ini tidak terulang tiap tahun di tempat yang sama. Apakah pakai sumur bor, supaya saat kemarau bisa pakai air dari sumur bor," katanya.

Supriyatno menilai, kekeringan ini diperburuk dengan penggundulan atau alih fungsi lahan di hulu daerah aliran sungai di Jabar. Karenanya, penghijauan harus terus dilakukan untuk mengurangi risiko bencana kekeringan, sekaligus longsor dan banjir.

Sebelum banyak hutan gundul, kata dia, air hujan tertahan di antara 60 sampai 80 persen di tanah, 20 persennya mengalir ke sungai dan daratan. Namun sekarang, yang mengalir sebanyak 90 persen ke run off, sambil membawa butiran tanah yang akan membuat sedimentasi di sungai. "Kami pun terus berupaya membantu rehabilitasi lahan gundul di Jabar," katanya.

Saat ditanya tentang nilai kerugian masyarakat akibat kemarau, Supriyatno mengatakan, BPBD Jabar masih terus menghitung nilai kerugian tersebut. Bahkan, dalam waktu dekat akan menggelar pertemuan untuk membahas berbagai dampak kemarau ini.

"Dampak yang paling jelas ya itu, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Jadi kami bekerja sama dengan PDAM menyediakan tangki-tangki air bersih ke daerah yang kekeringannya parah," paparnya. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement