REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penolakan Mahkamah Agung (MA) atas Peninjauan Kembali (PK) Baiq Nuril menimbulkan kegeraman di banyak lapisan masyarakat. Mereka menilai Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang justru dipidanakan dalam kasus konten seksual. Oleh karena itu banyak pihak yang mendesak agar Presiden Joko Widodo memberikan amnesti atau pengampunan kepada Baiq Nuril.
Menanggapi itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menegaskan bahwa Baiq Nuril layak mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo. Pertimbangannya adalah kemanusiaan dan hak asasi manusia.
"Negara dan juga kepala negara presiden harus hadir dan melindungi warga negaranya," tegas Fery saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (9/7).
Fery melanjutkan, tidak perlu persyaratan khusus yang harus dimiliki oleh kuasa hukum maupun Baiq Nuril untuk bisa mendapatkan amnesti dari presiden. Namun dengan adanya, undang-undang baru terkait administrasi pemerintahan, maka bisa menggunakan proses yang ada di undang-undang tersebut. Yaitu, sambungnya, untuk memenuhi apa yang ditentukan undang-undang dasar.
"Bahwa nanti presiden harus menyampaikan apa alasan-alasan yuridis, filosofis, dan sosiologisnya dalam menjatuhkan keputusan amnesti itu UU 30 tahun 2014," tambahnya.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga secara formil harus menempuh berbagai cara langkah administrasi sebelum memberikan amnesti. Seperti mendengarkan pendapat kementerian yang berkaitan yaitu Kemenkumham. Lalu dirancanglah keputusan presiden yang berkaitan dengan amnesti itu tapi sebelumnya presiden mengajukan surat meminta pertimbangan dari DPR RI terlebih dulu.
"Sementara kuasa hukumnya paling baik mengajukan permohonan untuk amnesti. Permohonan bisa disampaikan secara lisan maupun tertulis tapi sebaiknya tertulis," terang Fery.
Kasus yang dialami Baiq Nuril berawal saat dirinya menerima telepon dari kepsek di tempat dia mengajar pada 2012. Kemudian dalam perbincangan di telepon itu kepsek menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.
Kemudian pada 2015 silam, rekaman tersebut beredar luas dan sang kepsek melaporkan Nuril ke polisi. Di pengadilan tingkat pertama, Nuril dibebaskan dari dakwaan, namun kemudian jaksa mengajukan banding hingga kasasi.
Kemudian MA lewat putusan kasasi pada 26 September 2018 menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis hukuman itu diberikan sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
Setelah itu, Baiq Nuril mengajukan PK meski pada akhirnya ditolak. Dalam putusannya, majelis hakim menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah.