REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) sedang berusaha mencari pengganti kesepakatan nuklir Iran 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kepada stasiun televisi Aljazirah pada Rabu (10/7), Perwakilan Khusus AS untuk Iran Brian Hook mengatakan kesepakatan baru tersebut harus disetujui oleh Kongres.
Presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari JCPOA pada 2018. Menurutnya salah satu kelemahan JCPOA kesepakatan itu tidak diratifikasi secara resmi oleh Kongres AS.
Berdasarkan Aljazirah, Hook mengatakan ada kemungkinan AS akan menerapkan sanksi terbaru kepada Iran. Ia juga mengatakan perlawanan negara-negara Teluk Arab terhadap Iran dapat lebih efektif jika mereka bersatu.
Pada Ahad (7/7), Iran sudah melangkahi kesepakatan JCPOA terkait pengayaan uranium yang dibatasi 3,67 persen. Pejabat Iran mengatakan negaranya sudah siap memperkaya uranium pada tingkat apa pun dan dengan jumlah yang tak terbatas.
Dengan begitu, Iran telah menentang upaya AS dalam menekan mereka dengan sanksi. Tekanan AS dimaksudkan untuk memicu negara yang tergabung dalam kesepakatan nuklir 2015 untuk mengosiasikan kembali JCPOA.
Seperti dilansir Aljazirah, uranium adalah logam berawarna abu-abu keperakan yang berukuran kecil yang hampir dapat ditemui di mana-mana tapi jarang dalam bentuk kepadatan terkonsentrasi. World Nuclear Association mengatakan saat ini tambang uranium beroperasi di sekitar 20 negara dunia.
Sekitar setengah dari produksi global berasal dari hanya 10 tambang di enam negara yakni Kanada, Australia, Nigeria, Kazakhstan, Rusia, dan Namibia.