REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baiq Nuril tak kuasa menahan tangis saat menceritakan kembali apa yang sudah menimpanya, di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (10/7). Korban dugaan pelecehan seksual verbal melalui percakapan telepon oleh mantan kepala sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim, tersebut justru harus menerima kenyataan menjadi terpidana.
Nasibnya harus berakhir menerima pidana 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan penjara setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK)yang diajukannya. "Saya tidak ingin ada lagi yang seperti saya. Saya tidak ingin," kata Baiq Nuril disertai isak tangis.
Perempuan 40 tahun itu mengaku sebenarnya tidak ingin hal yang menimpanya menjadi konsumsi masyarakat. Ia khawatir anaknya di Mataram melihat ibunya menangis di televisi maupun media massa lain.
"Saya tidak ingin menjadi konsumsi publik karena anak saya pasti menonton dan saya tidak ingin dia melihat ibunya menangis. Tapi, saya yakin kebenaran dan keadilan pasti akan terjadi," ujar Baiq Nuril.
Namun, segalanya telah terjadi. Nuril menyatakan, ia akan berjuang sekuat tenaga untuk memperjuangkan keadilan.
Ibu dari tiga anak ini kemudian menceritakan kembali bagaimana pedihnya meninggalkan anak-anak selama beberapa bulan karena kasus UU ITE. Nuril yang menjadi korban pelecehan seksual verbal oleh atasannya, Muslim, justru harus berurusan dengan kasus UU ITE karena dituduh menyebarkan percakapan asusila yang dilakukan mantan atasan saat ia menjadi staf tata usaha di SMAN 7 Mataram.
"Saya harus meninggalkan anak-anak yang saat ini seharusnya saya rangkul. Saya yakin perjuangan ini akan berakhir dengan baik," kata Nuril.
Pasangan Nuril dan Lalu Muhammad Isnaeni memiliki tiga anak berusia 17 tahun, 13 tahun, dan 7 tahun. Kondisi psikologi anak-anak menjadi hal terberat yang menjadi pikiran Nuril. "Saya bilang sama anak yang paling kecil, Ibu mau sekolah lagi, Nak. Kata anak saya, Ibu tidak usah sekolah, biar Ibu tidak pergi-pergi lagi (dari rumah)," tutur Nuril.
Perjuangan Baiq Nuril mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Putri presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, menuturkan, perempuan memang harus bersuara atas perundungan seksual yang dialaminya. Bahkan, menurut Tokoh Perubahan Republika 2018 itu, keberanian Baiq Nuril dalam mengungkapkan kasus yang dialaminya harus dipuji.
"Sangat (mendukung amnesti), ya. Perempuan bersuara atas persoalan perundungan seksual itu saja harus sudah dipuji keberaniannya. Nah, kita harus berikan dukungan agar semakin banyak korban mau bersuara dan perjuangkan keadilan," kata Yenny seusai menghadiri upacara peringatan HUT ke-73 Bhayangkara di Monas, Rabu (10/7).
Yenny menambahkan, siapa pun korban perundungan dan pelecehan seksual harus mau berjuang demi keadilan. Kasus Baiq ini, lanjut Yenny, adalah bentuk perjuangan menuntut keadilan atas pelecehan seksual. "Mereka orang-orang yang teraniaya, jadi harus kita bela," katanya. (arif satrio nugroho/sapyo andika candra, ed:agus raharjo)