REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Amnesty International menyatakan Negara Bagian Rakhine Myanmar tidak aman bagi pengungsi Rohingya yang ingin kembali ke daerah asalnya. Warga Rohingya yang sebagian besar adalah Muslim, terus menghadapi penolakan secara sistematis atas hak-hak mereka.
Penolakan atas hak Rohingya berupa kesetaraan, kewarganegaraan, kebebasan bergerak, akses pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan. Amnesty juga menyebut, hak-hak mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dan melaksanakan ibadah keagamaannya secara rutin dilanggar dalam sistem apartheid.
"Negara Bagian Rakhine tidak aman bagi masyarakat yang masih tinggal di sana, dan sudah pasti tidak aman bagi pengungsi yang ingin kembali," demikian pernyataan Amnesty International yang disampaikan pada sesi UNHRC di Jenewa, Swiss, Rabu malam waktu setempat, dilansir dari Anadolu Agency, Jumat (12/7).
Pihak berwenang Myanmar telah menutup akses internet di wilayah yang dilanda konflik di Negara Bagian Rakhine dan China sejak 21 Juni lalu. Pengawas hak asasi mengatakan, situasi tersebut menimbulkan kekhawatiran mendesak tentang keselamatan warga sipil di tengah konflik yang berlanjut.
Amnesty International mengungkapkan, sekitar 128 ribu orang yang sebagian besar warga Rohingya, telah dikurung di kamp-kamp penahanan di Rakhine dan bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk kelangsungan hidup mereka. Laporan itu menegaskan bahwa Myanmar sangat membatasi akses kemanusiaan dan akses ke wartawan independen dan pemantau hak asasi manusia. Rohingya dan komunitas Muslim lainnya secara sistematis didiskriminasi dan tidak memiliki kebebasan bergerak.
Amnesty menuding pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama Buddha tidak terlibat dalam upaya mengimplementasikan rekomendasi Komisi Penasihat Negara Rakhine, yang dipimpin oleh almarhum Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. "Pihak berwenang mengklaim menerapkan 81 dari rekomendasi 88 laporan, namun kenyataan di lapangan sangat berbeda," kata pihak Amnesty.
Kelompok hak asasi juga mengatakan bahwa pemerintah Aung San Suu Kyi di Myanmar tidak membuat kemajuan dalam memulihkan hak kewarganegaraan Rohingya atau meninjau Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 yang diskriminatif.