REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perang dagang Amerika Serikat dan China ternyata memberikan dampak positif bagi beberapa negara. Salah satunya Vietnam karena banyak perusahaan Cina yang mnempatkan pusat produksinya.
Hanya saja, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan P Roeslani mengatakan hal tersebut tidak dialami Indonesia. “Beberapa pemberitaan menunjukkan kita tidak menikmati kue dari perang dagang ini. Padahal ease of doing business (EoDB) kita membaik,” kata Rosan usai menghadiri Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun 2019 Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Selasa (16/7).
Rosan mengatakan hal tersebut dikarenakan kepastian dunia usaha di Vietnam jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. Terutama dari persoalan hukum dan tanah sehingga memberikan peluang usaha jauh lebih baik.
Sementara Indonesia, Rosan menilai cukup berbeda dengan Vietnam “EoDB kita isunya adalah enforcing dan issuing contract. Itu dua isu yang paling berat di Indonesia,” jelas Rosan.
Di sisi lain, Rosan mengakui perang dagang tersebut memang menyebabkan beberapa sektor mengalami kemunduran dan juga kemajuan. Terutama juga patner dagang terbesar yaitu Cina dan AS maka pasti akan terdampak.
Meskipun begitu, Rosan menuturkan di tengah gejolak perang dagang tetap harus optimis. “Itu mottonya dunia usaha karena kalau tidak optimis nggak bisa jadi pengusaha,” ungkap Rosan.
Dia menegaskan Kadin mengharapkan dunia usaha akan lebih terukur dan terstruktur namun masih tertinggal di Indonesia. Meskipun begitu, Rosan mengakui kebijakan pemerintah yang lebih banyak mendengar dari dunia usaha menjadi tepat sasaran.
“Karena fiskal dan moneter kedua tangan kita ya. Jadi ekonomi kita ini arahnya sudah sesuai tetapi kecepatan perlu ditambah,” jelas Rosan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad memprediksi tantangan investasi di tengah perang dagang membuat investasi semakin menjauh dari sektor primer dan sekunder. Tauhid menjelaskan pada 2013 porsi investasi asing bertandang ke sektor sekunder mencapai 55,4 persen.
Sementara pada 2018 justru bergeser ke sektor tersier dan prosi investasi di sektor sekunder hanya tinggal 35,3 persen. “Hal ini berimplikasi terhadap kemampuan investasi dalam menyerap tenaga kerja dan optimalisasi nilai tambah,” jelas Tauhid.
Tauhid menilai perang dagang tidak menguntungkan ekspor Indonesia karena berpengaruh kepada penurunan ekspor 1,24 persen. Untuk itu, Tauhid menekankan investasi perlu didorong untuk meningkatkan ekspor Indonesia dan menyelamatkan neraca perdagangan.