REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat pleno pembahasan amnesti untuk terpidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Baiq Nuril digelar Komisi III DPR pada Selasa (23/7). Dalam rapat tersebut, Komisi III memutuskan masih akan mendengar pandangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Pandangan dari Kemenkumham selaku pihak pemerintah itu dijadwalkan disampaikan pada Rabu (24/7). Setelah itu, fraksi-fraksi di Komisi III baru akan mengambil keputusan terkait rekomendasi untuk amnesti bagi Baiq Nuril. "Besok (hari ini—Red), pukul 15.30, kita akan mendengar pandangan pemerintah diwakili Kemenkumham, setelah itu dilakukan pengambilan keputusan dari fraksi yang ada di Komisi III," kata Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin dalam rapat pleno Komisi III, kemarin.
Rapat pleno yang dimulai pukul 13.00 WIB tersebut awalnya dilakukan secara tertutup. Namun, rapat tersebut kemudian dilakukan secara terbuka. Baiq Nuril yang hadir ke DPR RI juga dipersilakan mengikuti rapat tersebut didampingi kuasa hukumnya.
Aziz selaku pimpinan rapat menegaskan, dalam rapat pleno ini tidak diperkenankan membahas maupun memperdebatkan proses hukum yang telah menimpa Nuril. Pasalnya, putusan hukum yang menimpa Nuril telah sampai pada peninjauan kembali (PK) yang telah ditolak Mahkamah Agung (MA) dan tidak dapat diubah lagi kecuali dengan amnesti.
Rapat pleno tersebut akhirnya berakhir dengan keputusan menunggu pandangan langsung dari Kemenkumham. Pandangan langsung itu dinilai perlu oleh Komisi III, meskipun dalam surat rekomendasi yang dikirimkan Presiden Joko Widodo ke DPR sudah memuat keterangan Kemenkumham sebelumnya. "Selanjutnya akan diambil keputusan di dalam forum rapat kerja Komisi III pada esok guna mendengar pandangan fraksi-fraksi apakah diberikan persetujuan atau tidak memberikan," kata politikus Golkar itu.
Baiq Nuril yang hadir di tengah rapat dipersilakan untuk menyampaikan pendapatnya. Nuril menyampaikan rasa ketidakadilan yang dialaminya sebagai korban pelecehan seksual secara verbal, tetapi justru lantas dijerat dengan kasus UU ITE. Nuril pun menyampaikan harapannya agar amnesti yang akan diberikan Presiden Jokowi disetujui oleh Komisi III DPR RI.
"Saya tidak tahu harus ke mana lagi. Karena saya tahu DPR itu wakil rakyat, tangan rakyat yang bisa menolong rakyatnya. Saya cuma rakyat kecil," kata Nuril sambil sesekali meneteskan air mata.
Fraksi-fraksi pun menyampaikan pandangan awalnya dalam pleno tersebut. Anggota Komisi III Fraksi PDIP Junimart Girsang menekankan, pemberian amnesti oleh Presiden adalah suatu bentuk usaha di luar upaya hukum lain. "Pertimbangan kita hari ini adalah keputusan politik yang meniadakan suatu keputusan hukum," kata dia.
Maka itu, lanjut Junimart, pemberian amnesti kepada Baiq Nuril diharapkan tidak menimbukan preseden bahwa hukum di Indonesia dapat diintervensi dan tidak dijunjung tinggi.
Anggota Komisi III Fraksi Demokrat Mulyadi mengatakan, yang diharapkan dalam proses pembahasan Amnesti Nuril adalah rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut disadari tidak selalu linier dengan lembaga peradilan. "Oleh karena itu, amnesti ini adalah hak khusus presiden. Insya Allah, kami sebagai wakil rakyat akan memperhatikan dan mendalami sehingga saat mengambil keputusan betul-betul keputusan itu yang berdasarkan faktual dan akurat," kata Mulyadi.