REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Operasional kendaraan pribadi sebagai angkutan umum berbasis aplikasi (daring) turut memperkeruh situasi lalu lintas (lalin) di Jakarta. Pernyataan itu diungkapkan oleh Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) Edison Siahaan.
"ITW menyayangkan keinginan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang meminta agar taksi daring mendapat pengecualian dari kebijakan ganjil genap (gage)," kata Edison di Jakarta, Rabu (14/8).
ITW memastikan kemacetan lalu lintas khususnya di Ibu kota juga dipicu sikap Kementerian Perhubungan yang membiarkan kendaraan pribadi beroperasi sebagai angkutan umum. Oleh karena itu jumlahnya semakin membludak dan tak terkendali.
Edison menyebut Permenhub 32 tahun 2016 dan Permenhub 26 tahun 2017 serta Permenhub 108 tahun 2017, tentang angkutan umum dengan kendaraan bermotor roda empat berbasis aplikasi tidak signifikan menuntaskan persoalan angkutan umum berbasis daring.
"Sebaiknya Menhub baca dan pelajari dulu Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Supaya paham apa itu syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh kendaraan bermotor yang digunakan sebagai angkutan umum," katanya.
Ribuan kendaraan bermotor, kata dia, belum memenuhi syarat sebagai angkutan umum. Tetapi kendaraan tersebut bebas beroperasi hingga berakibat pada beban kapasitas tampung jalan.
"Menhub juga kembali membuat kebijakan yang melanggar aturan yaitu lewat kebijakan Permenhub Nomor 12 tahun 2019 tentang keselamatan sepeda motor yang digunakan untuk kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Edison mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018 menolak permohonan judicial riview yang diajukan oleh puluhan pengemudi ojek daring agar Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 mengakomodasi sepeda motor sebagai angkutan umum. "Sebaiknya Menhub menyampaikan data dan informasi yang akurat berapa jumlah angkutan umum berbasis aplikasi yang sudah memenuhi syarat sesuai ketentuan berlaku," katanya.