Kamis 15 Aug 2019 14:01 WIB

GBHN Dihidupkan Lagi, Presiden Dinilai Bisa Jadi Jongos MPR

Partai Demokrat hati-hati dalam menyikapi wacana amandemen terbatas UUD 1945.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo berjalan memasuki ruang rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo berjalan memasuki ruang rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (6/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Partai Demokrat Benny Kabur Harman menyampaikan partainya hati-hati dalam menentukan sikap soal wacana diberlakukannya lagi Garis-Garis Beras Haluan Negara (GBHN). Demokrat khawatir realisasi pengembalian fungsi GBHN malah hanya menguntungkan segelintir pihak saja.

Benny menyampaikan Partai Demokrat khawatir kehadiran GBHN malah merusak sistem pemerintahan yang digunakan sekarang. "Kami masih mengkaji rencana itu. Kalau tidak jelas konsepnya dikhawatirkan akan meluluhlantakkan sistem pemerintahan negara yang berlaku pada saat ini atas dasar UUD 1945 hasil amandemen," katanya pada Republika, Kamis (15/8).

Baca Juga

Benny mengungkapkan, GBHN sejatinya sudah tercantum dalam Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (UU RPJM). Sehingga, ia merasa GBHN sudah tak lagi diperlukan.

"Haluan negara kita dalam garis besarnya tercantum dalam konstitusi kita dan juga UU RPJM. Kalau hidupkan lagi GBHN maka presiden benar-benar menjadi jongos-nya MPR yang kita tahu mayoritas diisi orang-orang politik," tegasnya.

Benny juga menyoroti penguatnya lagi wacana penguatan kewenangan Majelis Permusyarakatan Rakyat (MPR) selain penentuan GBHN. Padahal, sebagian kewenangan MPR sudah dicabut seusai reformasi karena dianggap tidak demokratis.

"Kami bersikap hati-hati menanggapi rencana mengubah konstitusi untuk perkuat kedudukan dan peran MPR itu. Kami akan cermati usul itu dengan konsultasi langsung berbagai kelompok masyarakat," ujarnya.

Salah satu kewenangan MPR yang coba digalakkan lagi ialah pemilihan Presiden. Sebelum reformasi, MPR-lah yang berwenang memilih Presiden.

"Usul itu terlalu sarat kepentingan sesaat, mengabaikan bahkan menihilkan program Presiden pilihan rakyat, lebih lugas lagi dasar usulnya itu adalah prasangka ideologis yang tidak berdasar," tegas Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI itu.

Sebelumnya, Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Veri Junaidi, mengatakan, publik sebaiknya waspada dengan isu-isu lain yang mengiringi wacana menghidupkan kembali GBHN. Pihaknya menilai, ada isu terselubung parpol yang mengiringi wacana ini.

Veri menjelaskan, jika diamati, mengemukanya isu GBHN terjadi secara berproses. Pertama, wacana menghidupkan kembali GBHN kemudian dilanjutkan dengan amandemen UUD 1945.

"Selanjutnya, soal MPR sebagai lembaga tertinggi dan ada isu lagi soal pemilihan presiden secara langsung. Kalau kita baca rentetan isunya, ini bukan hanya soal GBHN saja. GBHN bukan isu sentral yang ingin didorong, " ujar Veri dalam diskusi di Gondangdia, Jakarta Pusat, Rabu (14/8).

Karenanya, yang perlu dicermati lebih lanjut adalah soal isu amandemen UUD 1945 dan isu MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sehingga, nantinya wewenang MPR untuk memilih presiden dan memakzulkan presiden bisa dikembalikan.

Pada akhirnya, bisa jadi pemilihan presiden secara langsung bisa ditiadakan. Veri pun menggarisbawahi adanya sikap parpol yang cenderung seragam dalam menyikapi amandemen GBHN ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement